Perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi? Ntar ujungnya masuk dapur
juga.
Dulu, bapakku mengatakan ini menjelang aku lulus SMA. Dulu,
ibuku terbakar hatinya karena kalimat ini. Aku, yang waktu itu paham benar akan
situasi, hanya bisa diam. Memaksakan sekolah lagi, tak ada biaya. Berhenti dan
bekerja, tetapi seseorang berkata, “kamu boleh saja bekerja dulu sambil
menabung buat kuliah. Tapi aku khawatir kamu akan terlalu menikmati bekerja
trus akhirnya lupa untuk kuliah lagi. Aku sudah pernah melihat hal itu,
saudaraku sendiri.” Waktu itu aku menjawab, aku berjanji tidak akan lupa untuk
kuliah lagi.
Mengapa aku sedemikian ingin sekolah lagi? Ketika dari
kalimatnya, bapakku tidak merestui sementara ibuku juga tidak bisa membantu
apa-apa. Tentu saja aku tidak lupa akan posisi ibuku yang menjadi pembantu rumah
tangga dan bapakku yang bekerja serabutan. Tetapi bapakku tidak jahat. Tidak.
Kalimatnya itu hanya untuk menutupi ketidakmampuannya dalam membantuku kuliah.
Aku sudah sering melihat seseorang yang marah bukan
karena kebenciannya kepada sesuatu atau seseorang melainkan seseorang itu marah
karena kebenciannya pada ketidakmampuannya mencapai sesuatu. Aku tahu bapakku
ingin aku sekolah tinggi tetapi beliau tidak bisa membantu sehingga itu
membuatnya kesal pada dirinya sendiri. Karena kesal, tidak mampu, marah pada
diri sendiri, tidak tahu harus berbuat apa, emosinya menjadi tidak stabil
sehingga kata-kata yang keluar adalah tentang sekolah yang tidak penting untuk
seorang perempuan.