Perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi? Ntar ujungnya masuk dapur
juga.
Dulu, bapakku mengatakan ini menjelang aku lulus SMA. Dulu,
ibuku terbakar hatinya karena kalimat ini. Aku, yang waktu itu paham benar akan
situasi, hanya bisa diam. Memaksakan sekolah lagi, tak ada biaya. Berhenti dan
bekerja, tetapi seseorang berkata, “kamu boleh saja bekerja dulu sambil
menabung buat kuliah. Tapi aku khawatir kamu akan terlalu menikmati bekerja
trus akhirnya lupa untuk kuliah lagi. Aku sudah pernah melihat hal itu,
saudaraku sendiri.” Waktu itu aku menjawab, aku berjanji tidak akan lupa untuk
kuliah lagi.
Mengapa aku sedemikian ingin sekolah lagi? Ketika dari
kalimatnya, bapakku tidak merestui sementara ibuku juga tidak bisa membantu
apa-apa. Tentu saja aku tidak lupa akan posisi ibuku yang menjadi pembantu rumah
tangga dan bapakku yang bekerja serabutan. Tetapi bapakku tidak jahat. Tidak.
Kalimatnya itu hanya untuk menutupi ketidakmampuannya dalam membantuku kuliah.
Aku sudah sering melihat seseorang yang marah bukan
karena kebenciannya kepada sesuatu atau seseorang melainkan seseorang itu marah
karena kebenciannya pada ketidakmampuannya mencapai sesuatu. Aku tahu bapakku
ingin aku sekolah tinggi tetapi beliau tidak bisa membantu sehingga itu
membuatnya kesal pada dirinya sendiri. Karena kesal, tidak mampu, marah pada
diri sendiri, tidak tahu harus berbuat apa, emosinya menjadi tidak stabil
sehingga kata-kata yang keluar adalah tentang sekolah yang tidak penting untuk
seorang perempuan.
Hal lain yang membuatku yakin adalah, sejak dulu, bapak
mengajariku banyak hal, menggergaji, mencangkul, bahkan mengenalkanku kepada semua alat
pertukangan miliknya. Tidak cukup di situ, beliau juga mengenalkan alat-alat
gamelan, tokoh-tokoh wayang, dan menjelaskan apa saja tentang struktur bangunan
rumah, cara membuat meja, kursi dan mebel lainnya (meskipun sebagian besar aku
sudah lupa). Setelah semua itu, aku tidak percaya kalau bapak hanya
menginginkanku untuk mengurus dapur. Karena itu, aku pun ingin menunjukkan
padanya kalau aku akan meraih pendidikan setinggi-tingginya tanpa merepotkannya.
Dan tidak hanya itu. Aku berjanji, aku akan mempelajari dan menguasai sebanyak
mungkin jenis keterampilan. Agar jika satu pintu rizki dari satu keahlian
tertutup, aku masih memiliki keahlian lain untuk ‘kuperdagangkan’. Janjiku
waktu itu.
Singkat kata, aku kuliah. Dengan proses yang cukup
panjang bagiku (bisa dibaca di Sekolah atau Tidak, Itu Pilihan 1 dan Sekolah atau Tidak, Itu Pilihan 2).
Waktu kuliah, aku mendengar kalimat yang hampir sama
dari seseorang, “buat apa sih sekolah tinggi-tinggi, cewek juga bakal ngurus
dapur. Mending kerja kan dulu, udah dapat duit. Sekarang
masih kuliah, masih nyari-nyari duit buat biaya lain-lain”. Waktu itu, aku
menjawab dalam hati, ‘biar dapat kerjaan
yang lebih baik darimu dan punya duit lebih banyak darimu dan biar pola pikirku
lebih baik darimu’. Aku kesal, jujur saja. Aku bahkan sempat berharap dia
merasakan penyesalan karena kata-katanya itu. Tetapi aku menyesal pernah
berharap seperti itu. Seharusnya aku menggunakan energiku waktu itu untuk
berdoa agar bisa jalan-jalan ke Eropa.
Jadi, perempuan sekolah tinggi untuk apa?
Aku punya jawaban sekarang. Untuk memutus lingkaran
setan kemiskinan dalam keluarga. FYI, lingkaran setan adalah lingkaran
sebab-akibat yang tidak jelas mana
sebab mana akibat, tidak bisa berhenti, misalnya, miskin
karena pekerjaan serabutan. Pekerjaan serabutan karena tidak ada keahlian.
Tidak ada keahlian karena tidak mendapat pendidikan/pelatihan. TIdak mendapat
pendidikan/pelatihan karena tidak ada biaya. Tidak ada biaya karena miskin.
Miskin kenapa? Kembali ke awal, karena pekerjaan serabutan. Semuanya terus
berputar.
Solusinya apa? Dobrak saja.
Terserah mulai dari mana. Sulit? Ya, tentu saja. Seseorang harus berkorban pada
awalnya. Berat? Ya, tentu saja. Lingkaran setanku belum apa-apa, masih banyak
yang lebih ‘setan’ (lebih berat dan pelik). Tetapi aku punya sebuah teori
sendiri, jika seseorang dimasukkan dalam sebuah lingkaran setan, berarti dia bisa menaklukkannya. Dia juga punya
pilihan, menjadi malaikat yang menjauhi setan atau menjadi ‘lebih setan’ untuk
mengalahkan setan. Lebih setan bukan berarti menjadi jahat. Yang kumaksud
menjadi lebih setan adalah menjadi lebih kuat untuk memutus si lingkaran setan.
Aku memilih memutus lingkaran setanku dengan sekolah tinggi agar mendapat
pengalaman lebih baik, keterampilan lebih baik, dan lingkaran baru yang
kusukai. Ingat, kusukai agar aku tak hanya mendapatkan uang tetapi juga
kebahagiaan.
Aku tidak mengucilkan orang yang tidak bersekolah
tinggi. Buktinya banyak yang tidak sarjana tetapi berhasil semacam Steve Jobs,
Rachael Ray dll. Tetapi satu hal yang kusadari, kalau TIDAK memiliki
keterampilan luar biasa seperti mereka atau mendekati keterampilan mereka, GAK
USAH bangga kalo gak sekolah pake alasan Steve Jobs gak sarjana aja bisa
sukses, sarjana juga banyak yang nganggur. Lha terus, kamu gak sarjana kok gak
bisa kayak Steve Jobs? Daripada sibuk mencari pembenaran diri, mending sibuk
nyari tahu kenapa orang lain bisa hidup enak, jalan-jalan, makan-makan, dan
yang bisa nyumbang panti asuhan atau yayasan lain sampe jumlahnya ratusan juta
itu. Opo kowe gak pengen bagi-bagi duit
atusan juta maring wong-wong ben iso mbantu wong liyo? Lha nek aku yo pengen,
mangkane cita-citaku kuwi dadi wong sugih ben akeh duit lan dadi wong pinter
ben ora diakali wong. Soale akeh wong sugih dadi mlarat mergo ora pinter ngatur
duit lan kapusan wong pinter sing keblinger. Amargo aku ora iso sinau dhewe,
mangkane aku sekolah. Lha nek kowe wis merasa pinter lan iso dadi wong sugih
tanpo sekolah, yo karepmu, ojo ngaru-aru aku sekolah. Sing penting juga,
buktekne nek kowe kuwi iso sugih lan pinter tanpo sekolah. Nek ora iso, yo meneng
wae.
No comments:
Post a Comment