Thursday 23 March 2017

Perempuan Sekolah Tinggi untuk Apa? Ujungnya Masuk Dapur Juga


Perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi? Ntar ujungnya masuk dapur juga.

Dulu, bapakku mengatakan ini menjelang aku lulus SMA. Dulu, ibuku terbakar hatinya karena kalimat ini. Aku, yang waktu itu paham benar akan situasi, hanya bisa diam. Memaksakan sekolah lagi, tak ada biaya. Berhenti dan bekerja, tetapi seseorang berkata, “kamu boleh saja bekerja dulu sambil menabung buat kuliah. Tapi aku khawatir kamu akan terlalu menikmati bekerja trus akhirnya lupa untuk kuliah lagi. Aku sudah pernah melihat hal itu, saudaraku sendiri.” Waktu itu aku menjawab, aku berjanji tidak akan lupa untuk kuliah lagi.

Mengapa aku sedemikian ingin sekolah lagi? Ketika dari kalimatnya, bapakku tidak merestui sementara ibuku juga tidak bisa membantu apa-apa. Tentu saja aku tidak lupa akan posisi ibuku yang menjadi pembantu rumah tangga dan bapakku yang bekerja serabutan. Tetapi bapakku tidak jahat. Tidak. Kalimatnya itu hanya untuk menutupi ketidakmampuannya dalam membantuku kuliah.

Aku sudah sering melihat seseorang yang marah bukan karena kebenciannya kepada sesuatu atau seseorang melainkan seseorang itu marah karena kebenciannya pada ketidakmampuannya mencapai sesuatu. Aku tahu bapakku ingin aku sekolah tinggi tetapi beliau tidak bisa membantu sehingga itu membuatnya kesal pada dirinya sendiri. Karena kesal, tidak mampu, marah pada diri sendiri, tidak tahu harus berbuat apa, emosinya menjadi tidak stabil sehingga kata-kata yang keluar adalah tentang sekolah yang tidak penting untuk seorang perempuan.

Hal lain yang membuatku yakin adalah, sejak dulu, bapak mengajariku banyak hal, menggergaji, mencangkul, bahkan mengenalkanku kepada semua alat pertukangan miliknya. Tidak cukup di situ, beliau juga mengenalkan alat-alat gamelan, tokoh-tokoh wayang, dan menjelaskan apa saja tentang struktur bangunan rumah, cara membuat meja, kursi dan mebel lainnya (meskipun sebagian besar aku sudah lupa). Setelah semua itu, aku tidak percaya kalau bapak hanya menginginkanku untuk mengurus dapur. Karena itu, aku pun ingin menunjukkan padanya kalau aku akan meraih pendidikan setinggi-tingginya tanpa merepotkannya. Dan tidak hanya itu. Aku berjanji, aku akan mempelajari dan menguasai sebanyak mungkin jenis keterampilan. Agar jika satu pintu rizki dari satu keahlian tertutup, aku masih memiliki keahlian lain untuk ‘kuperdagangkan’. Janjiku waktu itu.

Singkat kata, aku kuliah. Dengan proses yang cukup panjang bagiku (bisa dibaca di Sekolah atau Tidak, Itu Pilihan 1 dan Sekolah atau Tidak, Itu Pilihan 2).

Waktu kuliah, aku mendengar kalimat yang hampir sama dari seseorang, “buat apa sih sekolah tinggi-tinggi, cewek juga bakal ngurus dapur. Mending kerja kan dulu, udah dapat duit. Sekarang masih kuliah, masih nyari-nyari duit buat biaya lain-lain”. Waktu itu, aku menjawab dalam hati, ‘biar  dapat kerjaan yang lebih baik darimu dan punya duit lebih banyak darimu dan biar pola pikirku lebih baik darimu’. Aku kesal, jujur saja. Aku bahkan sempat berharap dia merasakan penyesalan karena kata-katanya itu. Tetapi aku menyesal pernah berharap seperti itu. Seharusnya aku menggunakan energiku waktu itu untuk berdoa agar bisa jalan-jalan ke Eropa.

Jadi, perempuan sekolah tinggi untuk apa?
Aku punya jawaban sekarang. Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan dalam keluarga. FYI, lingkaran setan adalah lingkaran sebab-akibat yang tidak jelas mana sebab mana akibat, tidak bisa berhenti, misalnya, miskin karena pekerjaan serabutan. Pekerjaan serabutan karena tidak ada keahlian. Tidak ada keahlian karena tidak mendapat pendidikan/pelatihan. TIdak mendapat pendidikan/pelatihan karena tidak ada biaya. Tidak ada biaya karena miskin. Miskin kenapa? Kembali ke awal, karena pekerjaan serabutan. Semuanya terus berputar.

Solusinya apa? Dobrak saja. Terserah mulai dari mana. Sulit? Ya, tentu saja. Seseorang harus berkorban pada awalnya. Berat? Ya, tentu saja. Lingkaran setanku belum apa-apa, masih banyak yang lebih ‘setan’ (lebih berat dan pelik). Tetapi aku punya sebuah teori sendiri, jika seseorang dimasukkan dalam sebuah lingkaran setan, berarti dia bisa menaklukkannya. Dia juga punya pilihan, menjadi malaikat yang menjauhi setan atau menjadi ‘lebih setan’ untuk mengalahkan setan. Lebih setan bukan berarti menjadi jahat. Yang kumaksud menjadi lebih setan adalah menjadi lebih kuat untuk memutus si lingkaran setan. Aku memilih memutus lingkaran setanku dengan sekolah tinggi agar mendapat pengalaman lebih baik, keterampilan lebih baik, dan lingkaran baru yang kusukai. Ingat, kusukai agar aku tak hanya mendapatkan uang tetapi juga kebahagiaan.

Aku tidak mengucilkan orang yang tidak bersekolah tinggi. Buktinya banyak yang tidak sarjana tetapi berhasil semacam Steve Jobs, Rachael Ray dll. Tetapi satu hal yang kusadari, kalau TIDAK memiliki keterampilan luar biasa seperti mereka atau mendekati keterampilan mereka, GAK USAH bangga kalo gak sekolah pake alasan Steve Jobs gak sarjana aja bisa sukses, sarjana juga banyak yang nganggur. Lha terus, kamu gak sarjana kok gak bisa kayak Steve Jobs? Daripada sibuk mencari pembenaran diri, mending sibuk nyari tahu kenapa orang lain bisa hidup enak, jalan-jalan, makan-makan, dan yang bisa nyumbang panti asuhan atau yayasan lain sampe jumlahnya ratusan juta itu. Opo kowe gak pengen bagi-bagi duit atusan juta maring wong-wong ben iso mbantu wong liyo? Lha nek aku yo pengen, mangkane cita-citaku kuwi dadi wong sugih ben akeh duit lan dadi wong pinter ben ora diakali wong. Soale akeh wong sugih dadi mlarat mergo ora pinter ngatur duit lan kapusan wong pinter sing keblinger. Amargo aku ora iso sinau dhewe, mangkane aku sekolah. Lha nek kowe wis merasa pinter lan iso dadi wong sugih tanpo sekolah, yo karepmu, ojo ngaru-aru aku sekolah. Sing penting juga, buktekne nek kowe kuwi iso sugih lan pinter tanpo sekolah. Nek ora iso, yo meneng wae.

No comments:

Post a Comment