“Ketrima di mana?”
“ITB.”
“Jurusan?”
“TI.”
“Lho bukannya kamu gak suka yang berhubungan ama TI? Itu
namanya mengulang sejarah.”
Hari itu, aku mengingat semua yang tersisa di memoriku. Tentang apa
yang tidak kusuka dan apa yang sebenarnya kusuka. Aku tidak tahu. Aku sama
sekali tidak tahu.
Dulu, dua minggu di Undip, seminggu masa orientasi,
seminggu masa perkuliahan. Tetapi aku hanya sempat mengikuti dua kelas sebelum akhirnya
memutuskan memilih tempat lain. Perasaanku selama di kelas itu, aku merasa bukan bagian darinya
meskipun awalnya aku mengira aku menyukainya, tentang psikologi. Tetapi
kenyataannya, selama di kelas, aku hanya diam dan sibuk mengagumi siswa lain
yang sedang berdiskusi dengan dosen.
Di STIS, ternyata perasaanku lebih buruk. Aku tidak
menikmati satu kelas pun. Aku berusaha sebaik mungkin tetapi tidak ada yang
benar-benar kupahami. Aku tidak mengerti. Perasaanku semakin buruk ketika masa
penjurusan di semester tiga, entah mengapa aku masuk jurusan komputasi. Aku
semakin tidak mengerti dengan apa yang kulakukan. Masa itu adalah kegagalan
total bagiku. Nilai akhir yang
tidak mencapai 3,0 dan tidak bisa membuat apa pun sesuai dengan yang telah
kupelajari. Semua seperti hilang begitu saja. Dan membuatku menyesal selama lima tahun setelah
kelulusan. Iya, lima tahun berharap bisa memperbaiki apa yang telah kulakukan
sekaligus dihantui ketakutan akan melakukan kegagalan yang sama. Membuatku enggan memikirkan tentang sekolah.
Sampai akhirnya aku bisa melaluinya dan memutuskan untuk
melanjutkan pendidikan. Jika aku tidak bisa mengubah masa lalu maka aku akan merancang masa
depan. Aku tidak akan mengulang sejarah.
Tetapi semua ini kembali menjadi masalah di semester dua, ketika salah
seorang dosen dan salah seorang teman mengatakan, “mencari topik tesis, carilah
yang sesuai passion. Carilah yang
jika kalian menyelesaikannya, kalian merasa senang.” Aku pikir, hidupku akan
berakhir saat itu. Bagaimana aku bisa tahu apa yang membuatku senang? Aku tidak
pernah tahu passion-ku apa. Kalau passion memang sesuatu yang membuatku
senang, maka aku senang kalau bisa menyelesaikan apa yang diperintahkan atasan.
Tetapi, aku tidak merasa bahagia.
Selama ini aku hanya ‘melakukan apa yang harus kulakukan’.
Aku melakukan apa yang orang lain perintahkan, apa yang orang inginkan, dan apa
yang bisa membuat orang mengatakan kalau aku hebat. Iya, aku ingin dibilang hebat karena sebelumnya
aku hanyalah debu di bawah meja. Tak berharga. Dan tidak memahami apa-apa. Hasilnya, aku tetap
tidak tahu apa-apa. Aku juga tetap tidak bahagia.
Aku pun mencari lagi tentang apa yang seharusnya
membuatku bahagia.
Aku menyukai banyak hal, menulis, menggambar, menjahit, fotografi, drama, musik,
aku menyukai semuanya meskipun tak satu pun aku mahir di dalamnya. Aku hanya
senang ketika bisa menyelesaikan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal itu.
Dan suasana hatiku selalu menjadi lebih baik ketika aku menyelesaikannya.
Tetapi apakah ini memang passion?
Atau hanya kepuasan karena bisa belajar sendiri? Aku tidak tahu.
Semakin aku mencoba mencari tahu apa passion-ku yang sebenarnya, aku
dikacaukan dengan kata bakat. Apa itu bakat? Aku melihat beberapa orang dengan
mudahnya membuat sesuatu yang berhubungan dengan pemrograman, melihat orang
yang dengan mudahnya membuat lukisan, melihat orang dengan mudahnya membuat
tulisan, dan beberapa orang dengan mudahnya membuat apa yang mereka inginkan.
Bakat? Lalu bakatku apa? Apa hubungan bakat dengan passion?
Aku tidak memiliki petunjuk sama sekali.
Semakin hari semakin banyak yang kutanyakan. Apa yang
kulakukan di sini? Apa yang harus kuselesaikan? Mengapa? Mengapa aku tidak
bahagia selama melakukannya? Kalau aku tidak bahagia, mengapa aku masih
melakukannya?
Aku tidak bisa mengatakan menggambar, menulis, menjahit,
musik adalah passion-ku. Aku memang
bahagia ketika melakukannya tetapi apa benar aku memang bahagia? Atau aku
bahagia karena aku melakukannya tanpa perintah? Bagaimana kalau aku bekerja di
bidang gambar-menggambar dan setiap hari aku harus menggambar apa yang orang
lain perintahkan? Apakah aku masih bahagia melakukannya? Atau malah mungkin aku
akan bahagia ketika belajar pemrograman? Sesuatu yang selama ini menjadi sumber
penyesalanku. Ah tidak, bukan itu
penyebabnya. Penyesalanku disebabkan ketidakmampuanku mencintainya.
Entahlah. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi setelah
ini. Apakah aku akan kembali
mengulang sejarah? Gagal untuk kedua kalinya?
No comments:
Post a Comment