Jumat, 16 September
2016, proses kelahiran yang cukup berat untuk kakakku, mbak Puji. Sewaktu kelahiran
anak pertamanya, Indri, jam empat pagi masuk klinik, jam delapan pagi lahir.
Selama kehamilan pun tidak ada masalah. Kehamilan yang kedua ini, mbak Puji
mengalami masalah pada usus buntunya dan harus menjalani operasi. Rasa mulas
berlebihan, hampir membuatnya menyerah. Sebelas jam di Klinik Bersalin menunggu
pembukaan, yang tak kunjung bertambah dari pembukaan dua. Karena rasa mulas yang
hampir tak dapat ditahannya lagi, mbak Puji ditawari induksi, dengan penjelasan
mulasnya empat kali lipat dari mulas yang sekarang. Mbak Puji memilih operasi caesar.
Dia pun dirujuk ke RSIA. Keluarga sudah menyetujui operasi caesar.
Dokter pun
melakukan pemeriksaan sekali lagi sebelum pelaksanaan operasi. Ternyata sudah
pembukaan lima. Dokter meminta membaktalkan operasi caesar dan mendukung mbak
Puji untuk melahirkan secara normal. Jam lima lewat sekian menit, lahirlah anak
kedua, bayi perempuan, yang malam ini resmi bernama Septiani. Akan tetapi,
semua tidak berhenti di sini.
Aku harus
meninggalkan Bandung menuju Jakarta karena beberapa hal, yang hanya aku yang
bisa mengurusnya. Sabtu, 17 September 2016, jam dua belas siang, aku baru sampai
di RSIA, mendapat kabar, bayi harus berada di ruang observasi karena masih
sering muntah. Dan tentu saja pemberitahuan hal lain yang harus aku urus.
Minggu, 18 September 2016. Mbak Puji dan Seppi boleh pulang. Akhirnya aku bisa melihat Seppi setelah penasaran hampir dua puluh empat jam. Keributan terjadi setelah sampai rumah, ketika Seppi menangis karena lapar. Dia bangun dan membuka matanya meskipun hanya sedikit. Entah mengapa dia belum membuka matanya dengan lebar. Tetapi dari matanya yang terbuka sedikit itu, aku dan ibuku bisa melihat matanya berwarna abu-abu. Tidak terlalu jelas warna putih dan hitamnya, seperti tertutup selaput tipis.
Sore itu pun
diwarnai dengan tangisan ibuku. Dia teringat riwayat kelahiran mbak Puji yang
juga lahir dengan kondisi mata seperti ini. Karena penanganan yang kurang
tepat, mbak Puji mengalami kebutaan. Suami mbak Puji, kami tidak bisa
menelusuri riwayatnya karena dia tidak pernah diberitahu orang tuanya. Yang dia
tahu, penyebab kebutaannya adalah demam tinggi.
Aku pun mencari
sebanyak mungkin referensi dan banyak referensi menuju ke istilah Congenital
Glaucoma. Ini adalah glaucoma yang dialami bayi sejak lahir. Siapaun bisa
terkena, akan tetapi, jika orang tua memiliki riwayat yang sama, peluang lebih
besar anaknya akan mengalami hal yang sama. Sumber mengatakan, peluang kejadian
adalah satu banding sepuluh ribu. Dari sepuluh ribu, mengapa harus Seppi-ku?
Ah, semoga aku
menemukan referensi yang salah.
Senin, 19 September
2016, aku membawa Seppi ke RSIA. Karena hampir tidak tidur semalaman akibat
ulah Seppi, aku mengalami kegagalam bergerak pagi-pagi. Sampai RSIA, dokter
anak shift pagi sudah tutup, sedangkan dokter shift siang sedang cuti. Akan ada
shift sore jam lima nanti. Aku meminta bidan atau siapa pun memeriksa mata
Seppi. Perawat pun membawa kami ke dokter umum di IGD. Setelah diperiksa,
dokter umum ini menelfon dokter spesialis anak yang menangani Seppi sewaktu
baru lahir. Dengan murah hati, dokter anak yang ditelepon akan segera ke RSIA,
perkiraan sampai satu jam kemudian.
Pukul 13.00, sesuai
janji, dokter spesialis anak datang. Seppi diperiksa namun beliau tidak
menjelaskan apa-apa dan memberikan rujukan ke dokter spesialis mata. Aku
mencoba menelepon rumah sakit yang disarankan RSIA, menanyakan jadwal poli
spesialis mata. Siang ini sudah tutup. Akan buka lagi jam 18.00 s/d 20.00.
Pikiranku mulai
mengembara. Mengapa harus Seppi? Mengapa harus kami? Mengapa harus aku? Otakku
mulai berputar mengumpulkan semua hal yang kuingat tentang keluarga, Bangko,
sekolah, thesis, dosen, Seppi, BPS, ibuku dan semua itu terpanggil secara tidak
beraturan.
Apa aku akan
sanggup melewati ini? Ah, bukan itu yang penting. Anak. Untuk apa anak
dilahirkan? Untuk apa orang tua melahirkan anak? Untuk merawatnya ketika mereka
lanjut usia? Atau anak hanya titipan untuk para orang tua agar belajar mengenal
Tuhannya? Bukankah tidak adil untuk anak, jika niat memiliki anak hanyalah
untuk merawat orang tuanya ketika lanjut usia?
Ah, otakku berjalan
tanpa instruksiku. Air mataku pun bekerja tanpa instruksiku. Hanya tangan dan
kakiku yang masih menurutiku, menggendong Seppi, membawanya pulang ke rumah.
Pukul 18 entah
lewat berapa, yang jelas selepas Maghrib, hujan deras. Aku hampir menyerah,
tidak jadi membawa Seppi malam ini. Tetapi sebelah hatiku atau mungkin logikaku
berkata, tidak ada lain kali. Semakin lama aku di sini, semakin besar peluangku
terlambat menyelesaikan studi.
Indri menemaniku
malam ini. Kurasa hanya dia yang bisa kuandalkan sekarang karena hanya dia yang
sepenuhnya ‘normal’. Dan untuk anak berusia sembilan tahun, dia terlalu bisa
diandalkan. Dia bahkan menggantikanku membersihkan dan mengelap badan Seppi
ketika aku kelelahan. Dan tentu saja, malam ini dia membantu membawakan tas dan
payung.
Pukul 19 entah
lewat berapa, yang kuingat, sewaktu mendengar adzan Isya’, aku duduk di depan
meja pendaftaran RS. Dengan bantuan Indri, aku bisa menemukan kasir dan poli
spesialis mata. Aku tidak bisa terlalu mengandalkan diriku semenjak kaca mata
patah dan terpaksa memakai kaca mata lama yang sebenarnya tidak banyak membantu
ketika malam hari.
Dokter spesialis
mata menyebutkan satu kata yang kukenal, glaucoma. Keterangannya mirip dengan
yang kubaca kemarin sore, yang kuharapkan adalah sumber yang salah. Tetapi
ternyata, yang kubaca benar adanya. Apa aku harus berterima kasih kepada
kampusku karena telah membiasakanku mencari sesuatu dengan berbagai macam
kombinasi kata kunci? Entahlah.
Penjelasan dokter
ditutup dengan memberikan surat rujukan ke RSCM Kirana, pelayanan khusus mata
dengan peralatan lengkap.
Aku pulang dengan
otak dan air mata kembali berulah, tidak mematuhi instruksiku lagi. Aku
memandang Indri yang tertidur di sampingku. Aku ingat kata-katanya sebelum
tertidur, “Bul (singkatan dari Bulek), dokter tadi ngomong apa sih? Indri gak
ngerti.”
Kamu memang tidak
mengerti tetapi kamu sudah banyak membantu selama ini. Kamu anak yang bisa
kuandalkan. Indri. Aku akan selalu ingat untuk belajar satu hal, kamu jauh lebih kuat daripada aku. Jika aku tidak menemukan hikmah dari semua ini sekarang, aku akan mengambil pengalamannya saja. Ya, untuk sekarang, aku akan berjalan saja, semoga maksud Allah tentang ini, dapat kutemukan secepatnya.
Sekarang aku bertanya-tanya,
dengan siapa aku ke RSCM besok pagi? Sendirian hanya akan membuatku kerepotan
seperti waktu ke RSIA tadi pagi, harus membawa bayi dan tas sendiri.
Penyakit semakin bervariasi enny, jadi sebelum menikah ada baiknya pasangan melakukan pengecekan pra-nikah.
ReplyDeleteKenapa?
Mencegah lebih baik dari mengobati kan ?
Makasih sarannya, Qi....
DeleteGak bisa berkata2 habis bacanya. Tetep semangat Eny, tidak pernah ada yang salah dengan apa yang terjadi. Yakin, kamulah yang terpilih, kamulah yang mendapatkan kekuatan itu. Kakimu,tanganmu dan hatimu. Yakin, suatu hari nanti semua akan terurai satu demi satu dan kamu akan dapat memetik hasilnya.
ReplyDeleteJalani dengan sabar dan ikhlas, ya nduk.
Satu hal, kamu sudah membuka mataku bahwa menjadi manusia itu harus memberi manfaat buat orang lain, apapun bentuknya.
Kata-kata Mba Susi bikin saya terharu... Makasih, Mba... *ga tau mau ngetik apa lagi *cuma bisa bengong
Delete