Sunday, 22 January 2017

Mana yang Harus Kupilih, Menyuruh Orang Diam atau Menutup Telingaku?

Salah satu obat tetes mata Seppi habis. Terlalu banyak yang terbuang ketika menetesi mata Seppi. Dia yang tidak mau diam dan dia yang menangis kalau matanya dipegang.

Kami sudah memutuskan untuk meneteskan obat itu tanpa membuatnya menangis. Pilihannya adalah, menunggu dia tenang dengan sendirinya dan sedang membuka mata. Jika sudah seperti itu, kami akan menetesi matanya dengan obat. Risikonya kalau tiba-tiba dia berkedip, ya tentu saja dia akan berkedip, kami harus meneteskan obat itu secepat mungkin. Pilihan kedua, membuka matanya dengan tangan kiri kami lalu meneteskan obat dengan tangan kanan, cara normal yang kita gunakan ketika menetesi mata kita sendiri. Tentu saja cara ini harus dilakukan dengan cepat juga karena terlalu lama memegang matanya akan membuat Seppi berontak bahkan bisa sampai menangis.

Kembali ke obat yang habis. Karena obatnya habis sebelum waktunya kontrol ke dokter, ayahnya memutuskan untuk membeli di apotek. Sayangnya, tidak semua apotek memiliki obat itu. Dia bolak-balik dari beberapa apotek kembali ke rumah, untuk bertanya kepada tetangga di mana lagi ada apotek yang bisa didatangi. Para tetangga pun menunjukkan apotek yang mereka tahu. Tetapi entah suara dari mana, apakah suara tetangga kami atau bukan, ada sebuah kalimat terdengar di tengah riuhnya percakapan dengan tetangga tentang apotek mana yang harus dikunjungi berikutnya. Kurang lebih kalimatnya seperti ini,

“Diobati juga gak akan sembuh, kan udah keturunan.”

Dear, Tetangga, bahkan dokter tidak pernah mengatakan kalau apa yang menimpa Seppi merupakan keturunan. Dokter mangatakan, kalau mata Seppi seperti itu karena proses pembentukannya tidak sempurna sewaktu dalam kandungan. Perihal kedua orang tuanya yang tuna netra, dokter tidak mengatakan kalau hal itu menurun ke anaknya. Tetapi saya tidak menyalahkan kalian yang seperti itu karena kalian tidak tahu tentang penyakit apa yang menurun dan yang tidak. Yang saya harapkan hanya, kalian menjaga kalimat kalian. Seandainya kalimat itu bisa menyakiti kalian, janganlah diucapkan kepada orang lain. Ah iya, kalian tidak tahu kalau kalimat itu akan menyakiti kalian karena kalian tidak mengalami apa yang kami alami. Dan kalian sepertinya tidak benar-benar memahami apa yang namanya empati.

Kalau sudah seperti ini, saya hanya bisa berdoa, semoga kalian tidak pernah mengalami situasi seperti kami. Semoga kalian sehat dan ‘normal’ selalu.

*Pasang headphone
*Aku memilih menutup telingaku

2 comments: