Salah satu obat tetes mata Seppi habis. Terlalu banyak
yang terbuang ketika menetesi mata Seppi. Dia yang tidak mau diam dan dia yang
menangis kalau matanya dipegang.
Kami sudah memutuskan untuk meneteskan obat itu tanpa
membuatnya menangis. Pilihannya adalah, menunggu dia tenang dengan sendirinya
dan sedang membuka mata. Jika sudah seperti itu, kami akan menetesi matanya
dengan obat. Risikonya kalau tiba-tiba dia berkedip, ya tentu saja dia akan
berkedip, kami harus meneteskan obat itu secepat mungkin. Pilihan kedua,
membuka matanya dengan tangan kiri kami lalu meneteskan obat dengan tangan
kanan, cara normal yang kita gunakan ketika menetesi mata kita sendiri. Tentu
saja cara ini harus dilakukan dengan cepat juga karena terlalu lama memegang
matanya akan membuat Seppi berontak bahkan bisa sampai menangis.
Kembali ke obat yang habis. Karena obatnya habis sebelum
waktunya kontrol ke dokter, ayahnya memutuskan untuk membeli di apotek. Sayangnya,
tidak semua apotek memiliki obat itu. Dia bolak-balik dari beberapa apotek
kembali ke rumah, untuk bertanya kepada tetangga di mana lagi ada apotek yang
bisa didatangi. Para tetangga pun menunjukkan apotek yang mereka tahu. Tetapi
entah suara dari mana, apakah suara tetangga kami atau bukan, ada sebuah
kalimat terdengar di tengah riuhnya percakapan dengan tetangga tentang apotek
mana yang harus dikunjungi berikutnya. Kurang lebih kalimatnya seperti ini,
“Diobati juga gak akan sembuh, kan udah keturunan.”
Dear, Tetangga, bahkan dokter tidak pernah mengatakan
kalau apa yang menimpa Seppi merupakan keturunan. Dokter mangatakan, kalau mata
Seppi seperti itu karena proses pembentukannya tidak sempurna sewaktu dalam
kandungan. Perihal kedua orang tuanya yang tuna netra, dokter tidak mengatakan
kalau hal itu menurun ke anaknya. Tetapi saya tidak menyalahkan kalian yang
seperti itu karena kalian tidak tahu tentang penyakit apa yang menurun dan yang
tidak. Yang saya harapkan hanya, kalian menjaga kalimat kalian. Seandainya
kalimat itu bisa menyakiti kalian, janganlah diucapkan kepada orang lain. Ah
iya, kalian tidak tahu kalau kalimat itu akan menyakiti kalian karena kalian
tidak mengalami apa yang kami alami. Dan kalian sepertinya tidak benar-benar
memahami apa yang namanya empati.
Kalau sudah seperti ini, saya hanya bisa berdoa, semoga
kalian tidak pernah mengalami situasi seperti kami. Semoga kalian sehat dan
‘normal’ selalu.
*Pasang headphone
*Aku memilih menutup telingaku
tutup telinga.
ReplyDeleterapat-rapat. ~~~~:)
Iyeeessss.....
Delete