Selasa, 20
September 2016
Aku membawa Seppi ke RSCM Kirana sesuai petunjuk dari dokter di rumah
sakit umum.
“Kita tidak bisa
menerima hasil dari dokter sebelumnya yang menyatakan galukoma, kalau dari
pemeriksaan awal, suspect-nya leukoma
atau mikrokornea asd. Tapi kita perlu USG untuk memeriksa bagian dalam mata,
apakah ada tumor atau yang lain. Tapi ruangan USG sudah tutup karena sudah
kesorean, besok atau minnggu depan ke sini lagi untuk USG. Datang lebih pagi
ya, jam tujuh,” kata dokter hari itu.
Leukoma, sebuah
kelainan dengan kornea berwarna putih, dan mungkin ada tumor di dalamnya.
Mikrokornea asd, pembentukan kornea yang tidak sempurna selama dalam kandungan
sehingga ukurannya kecil. Setidaknya itulah yang sempat aku tangkap. Untuk
mencari lebih jauh, ah, sudahlah, aku lemah.
Selasa, 27 September
2016
USG. Dokter melihat
bagian dalam tidak ada masalah, “tidak ada tumor atau penyakit apa pun,
ukurannya normal. Hanya saja, pembentukan matanya tidak sempurna sewaktu dalam
kandungan sehingga lapisan-lapisan di atas kornea yang seharusnya terpisah,
tidak terjadi proses pemisahan. Hal itulah yang menyebabkan ada lapisan putih
di bagian luar mata yang terlihat seperti selaput yang menutupi matanya. Akibatnya,
penangkapan cahaya oleh mata juga akan berkurang. Kalau penangkapan cahaya
berkurang, yah, tentu saja benda tidak akan terlihat jelas. Tetapi saat ini,
belum bisa diputuskan ada tindakan apa, donor atau operasi, belum, karena dia
masih terlalu kecil. Dirangsang aja matanya dengan mainan yang muter-muter itu,”
akhir percakapan hari itu.
Pemeriksaan selanjutnya eye-care (lagi) untuk mengecek tekanan mata yang
hasilnya cukup tinggi, 33.
Selasa, 11 Oktober
2016
Eye-care(untuk
kesekian kalinya), 28.
“Jadi anak ibu ini
mengalami bla bla bla asertif degeneration (atau entah apa
lah, aku tidak terlalu ingat), irisnya yang seharusnya memisah, masih menempel
di sini (dokter itu menggambarkan bagian-bagian mata). Lalu di bagian sini
(dekat iris), diproduksi air mata yang gunanya menjaga kelembaban mata.
Masalahnya, saluran yang namanya bla bla
bla tertutup karena pemisahan yang tidak sempurna tadi, jadi air mata yang
diproduksi tidak bisa keluar. Kalau dibiarkan terus menerus, air mata akan akan
menumpuk di sini. Kalau menumpuk, akan mengakibatkan kerusakan di bagian dalam.
Obat tetes mata yang kita berikan kemarin itu, untuk menekan proses produksi
air mata agar tidak terlalu banyak dan untuk menurunkan tekanan mata. Tetapi,
tekanannya dari 33 sekarang menjadi 28, tidak berkurang secara signifikan.
Takutnya, kalau tekanan matanya terus bertambah, anak ini akan mengalami rasa
sakit dan tentu saja akan ada efek lain terhadap kondisi matanya. Yang kita
harapkan, karena memang ini bawaan, kita belum bisa melakukan apa-apa, jadi
yang kita harapkan masih ada cahaya yang bisa masuk ke mata, setidaknya
baying-bayang. Saran saya juga, kita lakukan tindakan untuk membuat saluran yang bisa
mengeluarkan air mata yang terus diproduksi ini. Karena penggunaan obat tetes
yang kemarin tidak akan efektif dan
kalau tidak dilakukan tindakan, anak ibu akan terus menerus bergantung kepada obat ini. Nanti, kita konsultasikan dulu dengan bagian glaucoma, sebelum adanya
tindakan.”
Di bagian glaucoma.
“Ini dulu lahir prematur?”
tanya dokter di bagian glaucoma.
“Enggak. Cukup
bulan,” jawab saya.
“Ini anak ke
berapa?”
“Anak kedua.”
“Kakaknya umur
berapa?”
“Sembilan tahun.”
“Normal?”
“Iya, normal.”
“Kapan-kapan kakaknya diperiksa juga
ya. Kan kita gak tahu orang tuanya dulu penyebab tuna netranya apa. Takut ada
masalah suatu hari nanti.”
Fine, karena Seppi, sekarang
Indri dicurigai. Sekalian saja curigai saya, Dokter. Mata saya juga bermasalah,
tapi dokter yang dulu cuma bilang otot mata sudah lemah jadi tidak bisa
berakomodasi dengan mudah. Ah, sudahlah.
“Anak ibu ini harus
dioperasi ya, kalau tidak, anak ibu tidak akan bisa melihat,” kata dokter di
bagian glaucoma. “Tetapi tindakannya tidak cukup hanya dengan bla bla bla (istilah tindakan untuk
membuat saluran pengeluaran air mata). Kalau ini tindakannya implant (entah apa lagi yang dimaksud implant ini).”
Aku, ah, entahlah, aku
sudah mati rasa, aku sudah cukup banyak mendengar sejak Seppi berusia empat hari.
Bisa dibilang, aku sudah pasrah apa pun yang terjadi. Ibunya Seppi menangis,
ah, tentu saja, dia ibunya. Perihal masalah penglihatan pun, dia yang paling
paham. Aku tidak pernah memahami hidupnya, aku hanya pendamping, hanya tiang
penyangga yang diharuskan untuk kuat padahal aku selalu takut roboh
sewaktu-waktu.
“Saya diskusikan
dulu dengan dokter tadi ya, tolong tunggu sebentar.”
Menunggu lagi,
menunggu keputusan tindakan atau entah apa lah. Hanya mereka dan Tuhan yang
tahu.
“Maaf, Bu, untuk
saat ini, belum bisa dilakukan tindakan karena cukup sulit,” kata salah seorang
dokter yang masih muda. “Ini kita tambahin obat tetesnya, control lagi dua
minggu lagi untuk memastikan akan dilakukan tindakan apa.”
Oke, fine. Dua
minggu lalu setelah USG dibilang bagian dalam matanya tidak ada masalah. Tadi
dibilang iris dan sebagainya saling menempel, perlu tindakan. Lalu sekarang
tidak bisa dilakukan tindakan karena sulit, lihat dua minggu lagi. Ah,
sudahlah, kalian semua pasti lelah dan tidak ingin gegabah melakukan tindakan.
Kalian pasti akan memikirkan banyak hal.
TIba-tiba aku
menyesal mengapa aku dulu tidak mengejar cita-citaku menjadi dokter.
Setidaknya, aku bisa memahami mengapa dokter seperti itu. Dan dua minggu yang
dimaksud dokter itu adalah hari ini.
Tasukete kudasai.
Semangat enny, km pasti bisa, km pasti kuat, kamu bulek yang hebaaaattt. #ikutan mewek
ReplyDeleteMakasih, Meti... #jadimewekah
DeleteSemangat enny, km pasti bisa, km pasti kuat, kamu bulek yang hebaaaattt. #ikutan mewek
ReplyDeleteEnny,
ReplyDeleteIya, Nurin...
DeleteKa,bisa minta nmr hp kaka? Sy mau tau mengenai gangguan anak sy persis seperti kaka,terimaksh
DeleteMaaf baru baca, Kak... Email ke saya, Kak... enny.kus[at]gmail[dot]com, nanti saya kirim no hp via email...
Delete