“Ini, makanlah,” Gama menyodorkan sepotong roti. “Norman
sudah menceritakan semua padaku. Aku yakin kamu belum sarapan. Tunggu di situ,
aku harus memandikan ayahku,” Gama masuk ke dalam rumah tanpa menunggu jawaban
dariku.
Aku menggigit roti yang ternyata berisi pisang
cokelat sambil merencanakan sesuatu untuk Norman karena telah menceritakan
kondisiku pada Gama. Tetapi aku tidak menemukan rencana apapun sampai rotiku
habis dan Gama sudah berdiri di depanku.
“Ayo,” ajak Gama.
Kami berjalan menuju halte terdekat. Rencana hari ini
adalah ke pasar. Dia memintaku menemaninya karena persiapan kalau membutuhkan
bantuan membawa belanjaan. Alasan yang membuatku sempat menolak tetapi dia
berjanji akan menraktir makan siang dan makan malam. Aku langsung berubah
pikiran dan bersedia menjadi apa pun hari ini, bahkan jika harus menjadi tukang
angkut barang.
“Kana,” Gama memanggilku lirih setelah kami duduk di
dalam bus.
“Ya,” aku menjawab tanpa memalingkan pandanganku dari
hp di tanganku.
“Apa kamu akan menyalahkanku?”
“Haa?” aku memandang Gama.
Gama menghela napas. “Apa kamu akan menyesali
keputusanku?”
“Keputusan?” aku masih memandang Gama.
“Meninggalkan pekerjaanku,” Gama tampak menunggu
jawabanku.
“Kamu bahkan belum bercerita apapun padaku,” aku
memanyunkan bibir.
“Aku sudah sering menjadi objek kesimpulan yang tidak
benar, jadi aku tidak akan membuat kesimpulan tanpa mengetahui cerita yang
sebenarnya,” jawabku datar.
Kami terdiam beberapa saat, “jadi bagaimana cerita
sebenarnya? Apakah kamu benar-benar meninggalkan pekerjaan tanpa persiapan?”
tanyaku kemudian.
“Sebagian benar, sebagian salah,” Gama diam sejenak.
“Aku memiliki rencana tetapi tidak matang. Aku hanya pulang dengan sekeping
rencana tanpa tahu apa yang harus kulakukan dengan rencana itu. Aku hanya
pulang untuk merawat orang tuaku. Waktu ibuku sakit, aku masih mengandalkan
ayahku. Sekarang ayahku yang lebih membutuhkan bantuan. Aku tidak bisa lagi
jauh dari mereka. Ini bukan kota kecil, aku akan melakukan sesuatu di sini.”
“Bagaimana dengan biaya hidup?” tanyaku.
“Kamu mengkhawatirkanku?” Gama bertanya balik.
“Untuk apa aku mengkhawatrikanmu?”
“Kamu menanyakan biaya hidup. Kamu
mengkhawatirkanku,” Gama berkata dengan nada menggodaku.
Aku bergidik dan membuat Gama tertawa.
“Aku masih memiliki banyak tabungan. Aku juga
mengontrakkan rumahku yang di sana, jadi aku masih memiliki penghasilan,” jawab
Gama tenang.
“Bagaimana dengan rencana pernikahanmu?” aku tidak
bisa menahan rasa penasaranku. Beberapa bulan lalu, Gama melamar seorang wanita
yang dikenalnya di perantauan. Sekarang, tiba-tiba saja dia pulang tanpa
memiliki pekerjaan padahal rencana pernikahannya bulan depan.
“Sepertinya harus ditunda. Aku tidak mungkin menikah
sebagai pengangguran,” Gama menatap lurus ke depan.
“Apa dia baik-baik saja?” tanyaku.
“Dia siapa?”
“Wanita itu, tunanganmu.”
Gama menghela napas, “tentu saja dia terkejut. Dia
bahkan menolak berbicara denganku sampai sekarang. Aku memintanya menghubungiku
jika dia sudah merasa lebih baik.”
Jawaban Gama tidak memuaskanku. Aku ingin tahu status
hubungan mereka sekarang. Aku juga ingin bertanya lagi tentang tanggapan orang
tua tunangannya tetapi aku merasa akan melangkahi area pribadi Gama. Aku
memutuskan untuk bertanya nanti atau menunggu dia sendiri yang bercerita.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan merepotkan
kalian,” Gama tersenyum. Yang dia maksud dengan kalian adalah aku dan Norman.
Aku menghela napas. Sekarang benar-benar terasa kalau
Gama telah meninggalkan semuanya demi orang tua. Aku tidak bisa membayangkan
hidupnya beberapa bulan ke depan. Seberapa besar penghasilan dari kontrakan
rumahnya, apakah akan cukup untuknya dan orang tuanya? Tetapi Gama bukan orang
yang akan diam saja. Aku mengenalnya sebagai orang yang tidak akan bergantung
kepada orang lain. Entah rencana apa yang disimpannya, aku merasa bukan hal
kecil. Iya, pasti bukan hal kecil. Seperti yang dilakukannya dulu, terlihat
tidak memiliki apa-apa ketika lulus kuliah tetapi dua bulan kemudian, dia
tiba-tiba pindah ke luar kota dan memiliki pekerjaan dengan gaji dua kali lipat
gajiku waktu itu. Sebuah kejutan besar. Aku berharap kali ini dia juga akan
memberikan kejutan besar.
“Apa yang kamu pikirkan?” Gama mengusikku.
Aku menggeleng, “aku mendukung apapun yang kamu
lakukan. Karena aku yakin kamu selalu memiliki rencana. Gama yang kukenal,
tidak pernah melakukan sesuatu tanpa rencana.”
Gama tersenyum, “terima kasih.”
Aku kembali memainkan hp, “Norman juga percaya
padamu. Kami percaya padamu.”
No comments:
Post a Comment