Monday 29 January 2018

Anak-anak Perbatasan Langit: Bagian 2 Anak Laki-laki yang Kembali

“Ini, makanlah,” Gama menyodorkan sepotong roti. “Norman sudah menceritakan semua padaku. Aku yakin kamu belum sarapan. Tunggu di situ, aku harus memandikan ayahku,” Gama masuk ke dalam rumah tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku menggigit roti yang ternyata berisi pisang cokelat sambil merencanakan sesuatu untuk Norman karena telah menceritakan kondisiku pada Gama. Tetapi aku tidak menemukan rencana apapun sampai rotiku habis dan Gama sudah berdiri di depanku.
“Ayo,” ajak Gama.
Kami berjalan menuju halte terdekat. Rencana hari ini adalah ke pasar. Dia memintaku menemaninya karena persiapan kalau membutuhkan bantuan membawa belanjaan. Alasan yang membuatku sempat menolak tetapi dia berjanji akan menraktir makan siang dan makan malam. Aku langsung berubah pikiran dan bersedia menjadi apa pun hari ini, bahkan jika harus menjadi tukang angkut barang.
“Kana,” Gama memanggilku lirih setelah kami duduk di dalam bus.
“Ya,” aku menjawab tanpa memalingkan pandanganku dari hp di tanganku.
“Apa kamu akan menyalahkanku?”
“Haa?” aku memandang Gama.
Gama menghela napas. “Apa kamu akan menyesali keputusanku?”
“Keputusan?” aku masih memandang Gama.
“Meninggalkan pekerjaanku,” Gama tampak menunggu jawabanku.
“Kamu bahkan belum bercerita apapun padaku,” aku memanyunkan bibir.
Gama tersenyum, “bukankah orang mudah membuat kesimpulan tanpa mendengar cerita yang sebenarnya?”
“Aku sudah sering menjadi objek kesimpulan yang tidak benar, jadi aku tidak akan membuat kesimpulan tanpa mengetahui cerita yang sebenarnya,” jawabku datar.
Kami terdiam beberapa saat, “jadi bagaimana cerita sebenarnya? Apakah kamu benar-benar meninggalkan pekerjaan tanpa persiapan?” tanyaku kemudian.
“Sebagian benar, sebagian salah,” Gama diam sejenak. “Aku memiliki rencana tetapi tidak matang. Aku hanya pulang dengan sekeping rencana tanpa tahu apa yang harus kulakukan dengan rencana itu. Aku hanya pulang untuk merawat orang tuaku. Waktu ibuku sakit, aku masih mengandalkan ayahku. Sekarang ayahku yang lebih membutuhkan bantuan. Aku tidak bisa lagi jauh dari mereka. Ini bukan kota kecil, aku akan melakukan sesuatu di sini.”
“Bagaimana dengan biaya hidup?” tanyaku.
“Kamu mengkhawatirkanku?” Gama bertanya balik.
“Untuk apa aku mengkhawatrikanmu?”
“Kamu menanyakan biaya hidup. Kamu mengkhawatirkanku,” Gama berkata dengan nada menggodaku.
Aku bergidik dan membuat Gama tertawa.
“Aku masih memiliki banyak tabungan. Aku juga mengontrakkan rumahku yang di sana, jadi aku masih memiliki penghasilan,” jawab Gama tenang.
“Bagaimana dengan rencana pernikahanmu?” aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. Beberapa bulan lalu, Gama melamar seorang wanita yang dikenalnya di perantauan. Sekarang, tiba-tiba saja dia pulang tanpa memiliki pekerjaan padahal rencana pernikahannya bulan depan.
“Sepertinya harus ditunda. Aku tidak mungkin menikah sebagai pengangguran,” Gama menatap lurus ke depan.
“Apa dia baik-baik saja?” tanyaku.
“Dia siapa?”
“Wanita itu, tunanganmu.”
Gama menghela napas, “tentu saja dia terkejut. Dia bahkan menolak berbicara denganku sampai sekarang. Aku memintanya menghubungiku jika dia sudah merasa lebih baik.”
Jawaban Gama tidak memuaskanku. Aku ingin tahu status hubungan mereka sekarang. Aku juga ingin bertanya lagi tentang tanggapan orang tua tunangannya tetapi aku merasa akan melangkahi area pribadi Gama. Aku memutuskan untuk bertanya nanti atau menunggu dia sendiri yang bercerita.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan merepotkan kalian,” Gama tersenyum. Yang dia maksud dengan kalian adalah aku dan Norman.
Aku menghela napas. Sekarang benar-benar terasa kalau Gama telah meninggalkan semuanya demi orang tua. Aku tidak bisa membayangkan hidupnya beberapa bulan ke depan. Seberapa besar penghasilan dari kontrakan rumahnya, apakah akan cukup untuknya dan orang tuanya? Tetapi Gama bukan orang yang akan diam saja. Aku mengenalnya sebagai orang yang tidak akan bergantung kepada orang lain. Entah rencana apa yang disimpannya, aku merasa bukan hal kecil. Iya, pasti bukan hal kecil. Seperti yang dilakukannya dulu, terlihat tidak memiliki apa-apa ketika lulus kuliah tetapi dua bulan kemudian, dia tiba-tiba pindah ke luar kota dan memiliki pekerjaan dengan gaji dua kali lipat gajiku waktu itu. Sebuah kejutan besar. Aku berharap kali ini dia juga akan memberikan kejutan besar.
“Apa yang kamu pikirkan?” Gama mengusikku.
Aku menggeleng, “aku mendukung apapun yang kamu lakukan. Karena aku yakin kamu selalu memiliki rencana. Gama yang kukenal, tidak pernah melakukan sesuatu tanpa rencana.”
Gama tersenyum, “terima kasih.”
Aku kembali memainkan hp, “Norman juga percaya padamu. Kami percaya padamu.”

No comments:

Post a Comment