Saya mulai muak dengan berbagai berita dengan istilah
intoleransi beragama. Semua berawal dari pilkada yang melibatkan dua calon yang
berbeda agama. Tak usahlah saya berkode-kodean, semua orang tahu, tentang Ahok
dan Anies. Saya tidak berhak berbicara tentang mereka karena saya tidak
memiliki hak pilih di Jakarta. Lagipula, saya juga tidak ingin membahas tentang
mereka. Saya hanya bingung dengan orang-orang berbagai berita dan status yang ‘beterbangan’
di ‘awan’.
Saya memiliki banyak teman yang beragama Islam dan
banyak juga yang beragama selain Islam. Saya tidak mengetik agama-agama itu
bukan karena saya tidak suka, melainkan saya hanya tidak ingin tulisan ini
seperti mata pelajaran SD yang menyebutkan agama-agama yang ada di Indonesia. Apalagi
kalau tiba-tiba ada tantangan menghafalkan Pancasila untuk mendapatkan hadiah
sertifikat rumah, saya tidak akan mengetiknya di sini. Bukan karena saya tidak
menghargai Pancasila melainkan saya tidak ingin ada tulisan mata pelajaran apa
pun. Saya hanya ingin tulisan-tulisan saya murni curhat. Ah, sudahlah, kembali
ke permasalahan saya.
Ada salah satu grup WA yang berisi ‘teman-teman’ baru,
pada awalnya, grup itu membahas tentang prestasi mereka di bidang seni, hafalan
Al-Qur’an, organisasi kemanusiaan, dan berbagai kegiatan sosial. Tetapi
lama-kelamaan, grup itu mulai membahas tentang kebencian kepada salah satu
calon peserta pilkada. Saya langsung keluar dari grup.
Lalu ada grup lain, yang membahas tentang hal-hal apa
saja, yang jelas maupun yang absurd,
yang penting maupun yang recehan, tiba-tiba membahas dengan menertawakan salah
saru peserta pilkada Jakarta. Saya bisa bertahan karena mereka tidak
membahasnya setiap saat. Hanya beberapa kali itungan jari tangan.
Tetapi saya tidak selamat dari facebook, twitter, dan instagram.
Status, kicauan, dan meme di mana-mana. Lagi-lagi tentang pilkada Jakarta.
Tuhan, maafkan saya, saya akan me-unfollow mereka. Dan klik klik klik, saya unfollow banyak orang. Tetapi saya tidak selamat ketika beberapa
orang teman mengetik status tentang bagaimana perasaan mereka yang selalu
ditolak sebagai kaum minoritas. Saya tidak bisa me-unfollow mereka karena mereka tidak menyebarkan kebencian, mereka
sedang mengungkapkan perasaan mereka.
Saya teringat, salah satu teman baik saya, beragama
Nasrani. Teman baik, iya, teman baik. Kami berteman sejak saya belum genap lima
tahun. Saya juga memiliki beberapa teman lain yang beragama Nasrani, Katolik, Protestan,
saya tidak tahu bedanya, saya pernah bertanya, tapi lupa. Apa boleh buat,
memori saya lebih senang menyimpan tentang anime dan cerita novel daripada
hal-hal lain. Saya dan teman-teman saya ini, kami, berinteraksi seperti biasa
di tengah-tengah maraknya berita intoleransi dan berbagai status-status yang
membicarakan tentang misionaris, mata-mata yang ingin memurtadkan orang Islam, bahkan
sampai kepada berita terakhir tentang penistaan agama.
Kalian tahu? Saya orang yang sangat tidak peduli dengan
berita-berita semacam itu. Saya selalu menganggap semua itu hanya oknum. Masih
banyak orang baik yang dengan tulus berteman tanpa melihat agama dan tidak
berniat membuat orang lain berpindah agama. Tetapi ketika ada teman saya yang
bersedih dengan berita penolakan pemimpin yang bukan beragama Islam, saya mulai
kikuk. Jujur, saya canggung ketika harus bercakap dengan teman-teman saya. Saya
selalu berpikir, apa yang ada dalam pikiran mereka, apakah mereka menganggap,
saya juga tidak menginginkan mereka berada di sekitar saya?
Terakhir, berita yang saya baca, tentang penolakan ketua
OSIS yang beragama bukan Islam. Saya ingat ketika SMA, saya mengikuti
ekstrakurikuler PMR (Palang Merah Remaja). Setelah pergantian ketua PMR,
beberapa teman saya menghilang, tidak pernah datang lagi di setiap kegiatan. Mereka
muncul lagi setahun kemudian, setelah pemilihan ketua PMR yang baru. Ketika
saya bertanya mengapa mereka selama ini menghilang, alasan mereka adalah ketua
PMR yang dulu beragama Kristen. Mereka tidak ingin dipimpin oleh orang yang
berbeda agama dengan mereka. Mereka sebenarnya mendukung calon lain waktu itu,
hanya saja, kalah dalam pemilihan.
Saat itu terasa damai, tidak ada kata-kata kebencian,
tidak ada kata-kata menjatuhkan. Mereka melakukan pembicaraan dalam forum
mereka. Ketika saya ikut bergabung dengan berbagai kegiatan keagamaan yang
mereka selenggarakan, mereka tidak pernah sedikit pun mengeluarkan kata-kata
kebencian kepada umat agama lain. Mereka tidak pernah menyebar berita
menjatuhkan, tidak pernah. Mengapa sekarang berbeda? Mengapa segala pembicaraan
yang serupa tidak kita lakukan dalam forum kita saja? Dan tanpa kata-kata
kebencian tentu saja. Ada apa dengan kalian yang lebih ‘dewasa’? Bahkan anak
SMA saja lebih tahu cara menjaga perasaan orang. Atau jangan-jangan, anak SMA
yang dulu santun ini, sekarang juga bisa menebar kebencian dan kata-kata kasar?
Entahlah.
Satu hal yang saya sesalkan, ketika saya tahu, dua teman
saya yang berbeda agama, tidak lagi berbincang setelah mereka saling membela
apa yang menurut mereka benar dengan kata-kata yang sangat buruk, dengan
menjatuhkan satu sama lain. Kalau dunia orang dewasa harus seperti itu, saya
menolak menjadi dewasa.
No comments:
Post a Comment