Ini kakak saya, Pujiati, (jilbab hijau)
di bagian ini, dia memiliki peran
penting |
“Mbak, saya tidak punya uang lagi,” saya
hampir menangis.
“Sama. Pasien sepi. Sudah beberapa hari
tidak ada yang pijat atau urut,” kakak saya menjawab dengan nada datar.
TIba-tiba hp saya berdering, seseorang di seberang sana
memberi saya alamat, saya harus mengajar les privat di alamat itu, mulai besok.
Saya langsung sujud syukur.
Kuliah gratis ternyata tidak membuat saya bisa sekolah dengan tenang. Yang saya
pikirkan, kuliah memang gratis, ada uang saku tiap bulan dari kampus tapi hanya
menyisakan dua puluh lima ribu rupiah setelah digunakan untuk membayar uang
kos.
Tahun
pertama, saya masih memiliki sisa tabungan yang tak seberapa dan suntikan dana
rutin dari mbak saya, Pujiati, yang bekerja di panti pijat. Mbak Puji tuna
netra (buta). Dia sempat sekolah di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Kudus lalu
melanjutkan di Destarata, yayasan untuk penyandang tuna netra di Jakarta Barat.
Saya belum berpikir untuk bekerja karena selain masih menyesuaikan diri dengan
mata kuliah yang ternyata saya hanya menyukai mata kuliah Kalkulus, mata
kuliah lain entah kenapa hanya sambil lalu di otak dan membuat saya sering
sakit kepala, saya juga sempat tertekan pada peraturan tentang Drop Out
(DO). IPK, nilai dan perilaku yang buruk bisa menjadi alasan siswa dikeluarkan
(DO).
Saya
beruntung satu kos dengan teman-teman yang bisa saling memahami. Mereka
mengajarkan hal paling pokok, menghemat anggaran. Tidak usah jajan, tidak usah
membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, dan yang paling ‘dahsyat’, pola
makan kami. Kami membeli nasi bungkus seharga seribu rupiah, sayur sebungkus
seribu rupiah, dan tempe goreng seribu rupiah (sepotong seharga lima ratus
rupiah). Nasi dan sayur dipisah, agar dapat kami makan tiga kali. Iya, tiga
kali, pagi, siang, dan malam. Tak apa, sekalian menurunkan berat badan yang
memang berhasil memangkas berat badan saya hampir sepuluh kilogram dalam waktu
enam bulan. Tapi ini bukan soal memangkas berat badan, ini soal uang.
Setiap
Sabtu dan Minggu, saya sering ke panti pijat tepat mbak Puji bekerja di
Cililitan. Di sana ada dua lagi teman perempuannya yang sama-sama tuna netra dan satu orang
laki-laki yang menjaga panti dan membantu keperluan mbak Puji dan
teman-temannya. Kadang saya menginap di sana, melihat sendiri bagaimana
lelahnya mbak Puji setiap selesai memijat pasien. Mbak Puji memang cukup
tinggi, sekitar 160 cm, tapi kurus, bahkan lebih kurus daripada saya. Memijat
orang-orang yang kebanyakan berbadan besar, pasti membutuhkan tenaga ekstra.
Dan kenyataan bahwa saya mengambil sebagian penghasilannya untuk makan, membuat
saya sering harus menelan nasi begitu saja tanpa sempat menikmatinya.
Tanpa
saya ketahui, bapak mulai bekerja, mencari bambu, menjual buah mangga dari pohon
di pekarangan rumah, dan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Setiap beberapa
bulan, bapak mengisi rekening saya. Saya dihubungi tetangga yang dimintai
tolong bapak untuk mengirimkan uang itu. Jumlahnya tidak banyak tetapi sangat
membantu saya untuk bertahan hidup. Kakak saya yang lain, yang sudah
berkeluarga, sempat mengirimkan banyak bantuan. Saya semakin ingin segera
bekerja. Maka, tahun kedua, setelah saya tidak terlalu tertekan pada ‘ancaman
DO’, saya mulai mencari pekerjaan. Tentu saja yang bisa saya lakukan sambil
kuliah. Saya mendaftar di bimbel untuk mengajar les privat. Setelah beberapa
hari mendaftarkan diri ke sebuah lembaga bimbel, akhirnya saya ditelfon, di
waktu yang sangat tepat.
Sore
itu, uang hanya tinggal sepuluh ribu rupiah, saya ke Cililitan, ke tempat mbak
Puji bekerja, saya duduk diam, yang membuat mbak Puji penasaran. Akhirnya saya
beranikan berbicara.
“Mbak, saya tidak punya uang lagi,” saya
hampir menangis.
“Sama. Pasien sepi. Sudah beberapa hari
tidak ada yang pijat atau urut,” mbak Puji menjawab dengan nada datar.
TIba-tiba hp saya berdering, seseorang di
seberang sana memberi saya alamat, saya harus mengajar les privat di alamat
itu, mulai besok. Saya langsung sujud syukur.
Hidup
saya mulai berjalan lebih mudah, sampai terdengar kabar bahwa mbak Maya,
majikan tempat saya dulu bekerja mengalami masalah di usahanya. Tokonya tutup,
mereka sekeluarga pindah dan itu berarti, semua pekerjanya termasuk ibu saya,
kehilangan pekerjaan. Saya dan mbak Puji harus berhitung ulang pendapatan dan
mengirimkan sebagian kepada ibu. Tidak pernah ada sisa untuk ditabung. Tapi mbak
saya selalu berkata, “kalau apa yang kita dapat selalu terpakai begini, berarti
uang kita berkah, tidak terpakai untuk hal sia-sia.”
Beberapa
bulan kemudian, datang kabar lain, bapak masuk rumah sakit. Beliau menginjak
pecahan kaca waktu mencari rumput. Diabetes Mellitus yang sudah lama mengendap
di tubuh bapak, membuat lukanya semakin hari semakin memburuk. Saya ingin
pulang tetapi saya terlalu memikirkan mata kuliah, absensi, dan DO. Saya
memutuskan tidak pulang, ibu juga tidak keberatan, sambil terus berdoa agar
bapak segera sembuh. Tetapi Allah memiliki ketentuan lain, dua minggu kemudian,
bapak meninggal. Saya mendapat kabar pagi-pagi buta. Saya dan mbak Puji, pulang
sorenya, dengan bus malam. Kami sempat berkhayal memiliki banyak uang, dan dapat
pulang pagi setelah mendapat kabar, dengan pesawat tentu saja. Kami sampai
rumah keesokan harinya, jangan tanya kami menangis atau tidak. Saya bahkan
tidak merasa kehilangan sama sekali. Yang saya rasakan, bapak masih ada di
rumah ini, bersama kami, memandang celoteh kami dari dipan di dekat pintu
seperti yang bisa saya ingat.
Beberapa
minggu setelah kepergian bapak, kami pun meminta ibu ke Jakarta. Kami
memutuskan berkumpul di rumah kontrakan mbak Puji dan suaminya di Kali Malang. Ibu
mencoba berjualan sarapan, nasi uduk, lontong, gado-gado, gorengan, dan makanan
kecil apa saja yang sekiranya bisa menghasilkan uang. Setiap hari dari pagi
sampai malam. Keuntungan, awalnya hampir tidak ada, bahkan sering rugi. Tetapi
itu hal biasa bukan? Tidak ada usaha baru yang lancar seketika. Ibu bertahan,
tetap berjualan sampai akhirnya lancar dan memiliki pelanggan.
Saya
mulai menerima kenyataan kepergian bapak, terus belajar, membantu ibu belanja
di pasar, dan menggantikannya berjualan ketika beliau istirahat. Tetapi saya
mulai bosan dengan kuliah. Saya, entah mengapa, ketika memasuki semester tiga, dimasukkan
ke jurusan Komputasi Statistik, yang hampir setiap hari harus berurusan dengan
komputer*. Saya belum sanggup membeli barang semahal itu. Untuk transport dari
Kali Malang ke kampus yang hanya tiga ribu rupiah saja, saya harus menghemat
banyak hal. Setiap ada tugas, saya harus menumpang laptop teman kos yang dulu.
Atau merayu penjaga lab komputer dan penjaga kampus agar mengizinkan saya
menggunakan komputer di kampus lebih lama. Untungnya, mereka selalu mengerti.
Tetapi terlalu sering berada di lingkungan kampus dan sekitarnya sampai malam,
membuat saya mulai lelah. Sampai menjelang skripsi, saya mulai frustrasi, sakit
kepala, ingin marah, entahlah. Akhirnya, kami mengumpulkan uang, untuk membeli
CPU dulu. Monitornya menyusul beberapa minggu kemudian, dengan tambahan bantuan
dari seorang teman. Alhamdulillaah.
Pengerjaan
skripsi berjalan seperti selayaknya, ya, selayaknya mahasiswa lain. Seharian
kuliah, semalaman suntuk di depan komputer, lari-lari mengejar dosen
pembimbing, dengan tambahan tetap membantu ibu dan jualannya.
Ada
banyak hal yang bisa saya syukuri, tapi satu hal yang sangat saya hargai, yaitu
teman-teman saya, yang entah tahu atau tidak kondisi saya, mereka tetap berada
di samping saya, memberi semangat, membantu dan semua yang terasa tidak
mungkin, akhirnya menjadi mungkin. Dan tentu saja, dosen pembimbing saya yang
luar biasa.
*Di
STIS, penjurusan dimulai pada semester tiga, sebagian di Statistik, sebagian di
Komputasi Statistik. Semester lima, jurusan Statistik dibagi lagi menjadi dua,
Statistik Ekonomi dan Statistik Kependudukan. Mahasiswa diminta memilih
jurusan, tetapi keputusan mereka di jurusan apa adalah kewenangan kampus dengan
memlihat kemampuan mahasiswa selama kuliah.
Maafkan aku en yang sering main ke rumahmu buat minta maem ama ibukmu
ReplyDeleteHaha, santai, Ndru,,,,
Delete