Saturday 27 January 2018

Anak-anak Perbatasan Langit: Bagian 1 Anak Perempuan di Perantauan

Aku mengetuk pintu rumah Kana berkali-kali tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya dia serius tidak ingin menerima tamu. Aku mengambil hp, mencari nomor Kana. Kana menjawab telepon pada nada sambung ketiga.
“Halo,” jawab Kana dari seberang telepon.
“Kamu di mana?” tanyaku agak kesal.
“Di taman.”
“Aku di rumahmu.”
“Aku sudah bilang kalau aku tidak di rumah,” nada suara Kana terdengar datar.
“Kupikir itu hanya alasanmu untuk tidak menerima tamu.”
“Jadi kamu berpikir aku berbohong?” nada suara Kana masih datar.
“Di taman mana?” aku bertanya tanpa memedulikan pertanyaannya.
“Tempat biasa,” Kana masih menjawab dengan datar.
Aku menutup telepon dan bergegas menuju taman di belakang komplek perkantoran pemerintah kota. Tidak sulit menemukan Kana di antara orang-orang. Hanya dia yang tanpa canggung duduk sendirian di antara para pasangan di taman mana pun di kota ini.
Kana tampak berkonsentrasi penuh pada sketsa di tangannya. Beberapa pensil berserakan di dekat kakinya dan beberapa lagi menggelinding ke rerumputan.
“Ini,” aku menyodorkan bungkusan di tanganku lalu duduk di sampingnya. Aku memunguti pensil dari rerumputan dan mengumpulkannya dengan pensil lain di samping Kana.
Kana meletakkan buku sketsa lalu membuka bungkusan dariku. Dengan wajah sumringah, dia memandangku beberapa detik, “terima kasih makanannya.”
Aku menjitak kening Kana, yang dijitak hanya menringis sambil mengusap kening.
“Kana, ada yang ingin kutanyakan,” aku memandang Kana serius.
“Tanyakan saja,” Kana mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
“Mengapa kamu tidak pindah saja ke kampung halamanmu?” tanyaku.
Kana menggeleng dan memberi tanda untuk menunggu sampai dia selesai mengunyah.
“Mengapa tiba-tiba bertanya? Kamu sudah bosan melihatku?” tanyanya kemudian.
“Aku baru tahu kalau orang tuamu sakit. Sudah lama, bukan?”
Kana mengangguk lalu mulai mengunyah lagi.
“Mengapa aku yakin ini makanan pertama yang kamu makan hari ini?” aku memandang Kana yang lahap.
Kana mengacungkan jempol yang berarti aku benar. Aku membiarkan Kana menghabiskan makanannya. Beberapa menit berlalu tanpa percakapan.
“Kenyaaaang,” Kana meluruskan kaki sambil meraih botol minumnya.
“Bukankah lebih baik dekat dengan keluargamu?” tanyaku penasaran. Kemarin aku baru mengetahui kalau orang tua Kana sakit sejak dua tahun yang lalu. Setelah kuingat-ingat, dua tahun ini, Kana hanya pulang setahun sekali, tidak seperti biasanya yang sampai tiga atau empat kali. Bukankah seorang anak akan lebih sering pulang ketika orang tuanya sakit? Bahkan aku sering melihat, mereka akan pindah pekerjaan agar lebih dekat dengan orang tua. Tetapi Kana terlihat sebaliknya.
“Aku memiliki alasan yang tidak semua orang akan mengerti,” kalimat Kana membuatku memandangnya penasaran. “Apa kamu mau mendengarkan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku akan tetap di sini agar tidak ada yang tahu kalau aku makan sekali sehari. Aku akan tetap di sini agar tidak ada yang mengajakku berjalan-jalan keliling kota dan mencicipi makanan enak, yang akhirnya membuatku menghabiskan banyak uang. Aku akan tetap di sini agar aku tidak melihat teman-temanku yang memiliki barang-barang mahal, yang membuatku juga ingin memilikinya. Aku akan tetap di sini karena tidak ada yang mengritikku ketika bajuku berantakan dan hanya membeli barang-barang murah. Dengan cara ini, aku bisa menyimpan uangku. Aku bisa menambah jumlah uang yang kukirim kepada keluargaku,” Kana menghela napas.
Aku mengangguk-angguk, “sekarang aku tahu alasannya.”
“Terima kasih sudah bertanya. Beberapa orang yang melihat, hanya bisa menghakimi tanpa ingin tahu alasanku,” Kana kembali melipat kakinya.
“Tetapi bagian makan sekali sehari itu tidak masuk akal. Kalau kamu sakit, bagaimana kamu akan bekerja?”
“Itu dulu. Aku dulu memang makan sekali sehari. Tetapi sekarang gajiku sudah naik, jadi aku makan dua kali sehari. Akan menjadi tiga kali kalau kamu membawakanku makanan,” Kana cengengesan.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikirannya.
Aku kadang berpikir Kana adalah makhluk asing. Saat teman-teman seusianya sudah menikah dan memiliki anak, dia masih kekanak-kanakan. Berlarian ke sana ke mari, bercanda sesuka hati, dan menolak menjalin hubungan serius dengan lawan jenis. Dia tidak memiliki sahabat dekat di kota ini, selain aku dan Gama. Tetapi siapa yang tahu kalau di balik sifat kekanak-kanakannya, dia menanggung beban yang berat. Hidup yang tidak mudah sejak muda, kelaparan, terlilit utang, terancam putus sekolah, dan sekarang, orang tua yang sakit dengan perawatan yang tidak murah.
Aku penasaran bagaimana sikapnya di antara keluarganya. Apakah kekanak-kankan seperti ini atau akan berbeda? Kadang-kadang aku pun seperti kebanyakan orang yang mengenalnya, menerka-nerka akan seperti apa kalau dia menikah. Akan seperti apa dia bersikap pada suami dan bagaimana kalau dia memiliki anak. Aku sering tertawa sendiri membayangkan Kana berebut mainan dengna anaknya.
“Apa yang kamu pikirkan?” Kana mengusik lamunan singkatku.
“Kana, kamu bilang, kamu tetap di sini agar tidak ada yang tahu kalau kamu makan sekali sehari. Tetapi aku tahu.”
“Ya, biar kamu saja yang tahu.”
“Tidak. Akan ada satu orang lagi yang tahu.”
Kana menoleh, “siapa?”
“Gama. Dia akan pulang.”
“Dia sering pulang dan dia tidak tahu,” Kana berkata yakin.
“Kali ini dia akan tahu,” aku memandang Kana yang mengerutkan kening. “Kali ini dia benar-benar pulang dan tidak akan pergi lagi.”

No comments:

Post a Comment