Monday, 29 June 2009

Piracy, Copyright & Knowledge

Agak miris juga kalau melihat semakin maraknya kasus pembajakan (piracy) di Indonesia. Mulai dari pembajakan VCD/kaset, fashion, buku sampai pembajakan ide (pembajakan ide, apa ya?).
Kalau kita melihat dari sisi kita, tentu saja kita tidak bisa mengatakan 'tidak diuntungkan oleh kasus pembajakan ini. Sebagai contoh, dengan harga 1/3 bahkan ada yang mencapai 1/10 dari VCD aslinya, kita dapat menonton film, yang jika beruntung, sama persis dengan aslinya. Saya katakan 'jika beruntung' karena hasil bajakan tentu tidak semuanya bagus. Padahal kalau kita mau lebih teliti, VCD/DVD Player merk tertentu akan lebih cepat rusak jika dipasangkan dengan VCD/DVD bajakan. Saya pernah mengalaminya. Tapi tetap saja yang bajakan menjadi pilihan dengan alasan 'hanya ditonton sekali'.

Ini baru film, apalagi kalau kita berbicara tentang software. Berapa uang yang harus kita keluarkan untuk membeli CD asli Windows dan Ms. Office. Belum antivirus, games dan software berbayar yang lain. Padahal software tentu tidak sekali pakai. Tapi untuk membeli yang asli rasanya pasti berat sekali dan saya pernah mendengar alasan dari salah seorang teman, "rugi kalau membeli yang asli karena beberapa bulan kemudian muncul versi yang lebih baru lagi".

Pernahkah kita memikirkan dari sisi pencipta film dan software ini? Mereka telah bersusah payah berpikir, mengolah sampai menyajikan versi yang paling sempurna ke hadapan kita. Lalu dengan mudahnya, para pembajak memperbanyak dan menjual tanpa membayar satu sen pun pada si pemegang hak cipta. Bagaimana kalau seandainya pemegang hak cipta itu adalah kita? Apa yang akan terlintas dalam otak kita jika hak milik kita disebarluaskan tanpa izin dari kita?

Jujur, saya tidak berani membayangkannya.

Saya ingat kata-kata salah seorang dosen. Maksudnya memang bercanda tapi cukup membuat saya berpikir. Inti kalimatnya "kalau tidak ada pembajakan, ilmu pengetahuan akan sulit tersebar". Saya pun teringat pada 'perpustakaan Kwitang dan Senen' (meminjam istilah orang lain). Di sana, kita bisa mendapatkan buku-buku dengan harga mencapai 1/4 kali harga aslinya. Tentu saja dengan tawar menawar yang cukup alot. Isi bukunya sama. Kalau ada beberapa bagian yang hilang/tidak tercetak, itu hanya beberapa kalimat. Dan kita bisa memperbaiki sendiri dengan melihat buku aslinya di perpustakaan kampus, kalau ada. Kalau tidak ada, kita bisa ke toko buku terdekat.

Buku bajakan inilah yang akhirnya menyelamatkan para siswa kurang mampu (termasuk saya) dari ancaman tidak bisa belajar. jika dilihat dari sisi ini, para pembajak seperti seorang 'pahlawan'. Saya tidak berniat berlebihan. Hitung saja berapa peluang bisa belajar dari buku di perpustakaan yang jumlahnya < 1/4 kali jumlah seluruh mahasiswa di kampus. Di sinilah pembajak buku mulai berperan.

Saya pun menjadi bingung harus memihak pembajak atau pemegang hak cipta. Kalau memihak pembajak berarti saya turut melanggar UU pelanggaran hak cipta. Sebaliknya, kalau saya mengambil keputusan yang menurut saya cukup beralasan (carles: cari alasan). Saya akan membeli yang asli kalau cukup ada uang, Kalau tidak ada cukup uang, ya dengan terpaksa saya kembali pada bajakan. Mohon jangan ditiru.

6 comments:

  1. sebenernya inilah yang dimaksud dg biaya pendidikan mahal.. utk mempelajari sebuah mata kuliah.. kita dihadapkan pada mahalnya harga buku impor tersebut.. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Bang... Entah kenapa baru terbaca ada komen-komen di tulisan ini... :(

      Delete
  2. Kalo menurut saya sih, membajak buku yang ditulis anak bangsa jangan deeh... kasihaan... masak merampok saudara sendiri. tapi kalo membajak buku asing boleh sajaa... mengapa kok boleh?? ingat mereka sudah merampok negara Indonesia 350 tahun, trus serang Indonesia 2x (Agresi Belanda 1&2) dan di setiap perjanjian damainya kita dituntut untuk membayar biaya perang. jadi wajar dong kalo kita rampok balik mereka..

    ReplyDelete