Aku tidak mengerti. Beberapa waktu lalu, seseorang bisa
sangat tidak peduli pada lingkungannya, pekerjaannya, bahkan tentang apa
pendapat orang tentangnya. Tapi di waktu tertentu, seseorang itu bisa sangat
peduli terhadap hal-hal kecil, bahkan bisa berusaha keras yang membuatnya
menjadi sosok lain yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Aku juga melihat bagaimana orang terus-menerus
mengeluhkan pekerjaannya tetapi tidak melakukan apa pun untuk mencari pekerjaan
lain. Tetapi aku juga melihat saat ketika orang itu membanggakan pekerjaannya
sedemikian rupa seolah pencapaiannya luar biasa. Apa itu? Mengeluh tetapi juga
bangga? Yang benar saja.
Semakin aku tidak mengerti ketika manusia mulai
membandingkan status dengan pekerjaan. Lajang, menikah dengan anak, dan menikah
belum memiliki anak. Kalimat-kalimat seperti, ‘kamu kan single, lembur ga pa
pa, kamu kan belum punya anak, gak ada yang ngerecokin kalo kerja di rumah,’
dan kalimat semacamnya. Seolah, cara bekerja seseorang ditentukan oleh
statusnya. Padahal yang aku tahu, status dan pekerjaan, tidak boleh
dicampuradukkan. Seandainya dalam pekerjaan ada toleransi-toleransi semacam
itu, maka aku pun menginginkan toleransi yang besar. Tetapi aku memilih
menutupnya. Kehidupan pribadiku hanyalah untukku, tidak ada hubungannya dengan
pekerjaanku. Selama aku masih bisa berjuang, aku tidak akan meminta apa pun.
Tiba-tiba aku ingat ketika aku menulis tentang status
lajang yang belum tentu tidak memiliki masalah. Waktu itu, aku tersentil oleh
kalimat seseorang, ‘kamu kan masih single, duit pasti terkumpul, ga ngurus
apa-apa’. Aku tidak suka, karena single bukan berarti tidak menganggung
apa-apa. Aku lebih tidak suka lagi ketika ada yang berkomentar, ‘iya, single
kan juga butuh jalan-jalan, kita butuh refreshing, kan banyak duit keluar
juga’. Aduhai anak muda, bukan ongkos jalan-jalan yang gue omongin, gue mau bilang
kalo banyak anak muda yang masih single tapi memperjuangkan setiap tetes
keringatnya untuk keluarganya, bahkan tak ada sepeserpun hasil keringatnya yang
bisa dibuatnya sekedar nongkrong di café. Damn it!
Manusia kompleks lain yang kutemui adalah seseorang yang
dengan mudahnya memberikan perintah kepada orang lain seolah orang lain adalah
sosok yang harus patuh kepadanya. Beruntungnya dia tidak perlu memerintahku
karena aku orang yang spontan menolak ketika diperintah. Aku hanya malas, itu
saja. Aku orang yang mengutamakan melakukan apa yang kusukai. Hal yang harus
kulakukan tapi tidak kusukai, akan kulakukan nanti, ketika aku sudah
menyelesaikan apa yang kusukai. Ya, begitulah. Ternyata aku juga manusia
kompleks.
Hal-hal kompleks ini sempat membuatku ingin mengasingkan
diri, yah meskipun secara alami aku ini orang yang sangat malas bersosialisasi,
aku masih mempertimbangkan untuk sekedar berbincang dengan orang baru agar terlihat ‘normal’. Akan tetapi melihat
manusia yang sedemikian kompleks, aku menjadi malas kembali, mungkin sebaiknya
aku sendiri saja karena aku cenderung untuk melukai perasaan orang yang bagiku
terlalu kompleks dan tidak bisa kumengerti. Sampai akhirnya aku menemukan
banyak orang baik yang membuatku menyadari, manusia memang kompleks, tetapi
banyak manusia yang sederhana, tidak banyak berpikir, tidak banyak mengeluh,
tidak banyak membenci, bahkan tidak pernah membenci. Mereka terlihat seperti
kepulan asap putih di antara semburan debu warna-warni. Mereka berbeda dan
membuatku ingin menirunya.
Kemarin, keponakanku menjalani operasi untuk mencegah
pembengkakan di bola matanya. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa, aku
panik tentu saja. Sehingga membuatku panik juga terhadap hal-hal kecil di
sekitarku. Aku hampir saja merusak semuanya andai tatapan itu tidak muncul di
pikiranku. Tatapan keserakahan dan ketakutan akan disingkirkan. Aku tidak
berniat menyingkirkan siapa pun. Berhentilah menghakimiku. Aku sudah cukup puas
dengan apa yang kumiliki sekarang. Aku tidak menginginkan hal lebih. Aku memang menginginkan
banyak hal tetapi tak satu pun berhubungan dengan kalian. Tenang saja.
Aku bahkan tidak memiliki impian tentang lingkungan
tempatku berada sekarang. Aku hanya ingin hidup tenang, tak ada paksaan, tak
ada beban yang berarti, tak perlu menjadi sosok yang harus mendominasi orang
lain. Aku hanya ingin tetap bisa tidur kapan aku mau, bisa begadang kapan pun
kumau, dan bisa mempelajari hal-hal yang terlewati selama aku sibuk memikirkan
betapa kompleksnya manusia. Tentang beberapa ‘tuduhan’ yang menganggapku
menginginkan A, B, C, you damn bi**ch, aku ini pemalas, aku lebih memilih
tidur-tiduran sambil menonton film daripada harus bekerja siang malam hanya untuk
sesuatu yang kalian anggap hebat
itu. Aku mungkin sering bercanda tentang uang dan
kekuasaan, tetapi itu hanyalah agar aku terlihat ‘normal’.
Aku menyadari, aku sendiri kompleks. Aku tidak tahu cara
bersosialisasi dengan tetangga, aku tidak tahu cara berbasa-basi dengan orang
baru dan aku tidak tahu cara menunjukkan cinta. Iya, cinta. Aku mencintai
banyak orang, di antaranya keluarga, sahabat, teman, tetapi aku tidak pernah
tahu bagaimana cara menunjukkannya. Aku sering menerima perlakuan yang sangat
baik dari mereka, yang sering membuatku berpikir, ‘apa yang telah kulakukan
sampai mereka sebaik ini? Dan apa yang harus kulakukan untuk membalas kebaikan
mereka ini?’ Terkadang, aku berpikir lebih baik aku sendiri saja daripada aku
bingung bagaimana bersikap. Tetapi selalu ada seseorang yang membawaku keluar
dari pikiran itu dan berakhir dengan aku yang kata orang memiliki sifat
sanguine.
Lagi-lagi, julukan itu membuatku menganggap kalau
manusia adalah makhluk kompleks.
Ah, sudahlah, tulisan ini pun
kompleks. Hanya lintasan-lintasan pikiran yang sering muncul dan akhirnya
terpendam sehingga membuatku menyesali mengapa aku harus memikirkannya. Padahal
aku bisa menggunakan waktuku yang terbuang itu untuk menonton film-film baru. Aku
memang menyebalkan. Mungkin di luar sana, ada seseorang
yang sedang membenciku setengah mati karena aku yang sedemikian sulit
dimengerti. Entahlah.
Manusia memang makhluk kompleks.
Begitu juga aku.
No comments:
Post a Comment