Beberapa waktu lalu, ada seorang
teman menghubungi saya. Dia bercerita soal anak dari rewangnya (pembantunya)
yang masih SLTP tapi sudah malas sekolah. Selalu ada alasan anak itu untuk
tidak sekolah. Teman saya ini meminta saya berbagi cerita tentang bagaimana
saya tetap memilih sekolah meskipun keadaan dulu cukup sulit. Ya, cukup sulit
buat kami tapi kalau saya memperhatikan sekeliling, masih banyak yang hidupnya
lebih sulit. Jadi, saya hanya ingin berbagi sedikit saja tentang kisah saya
yang tak seberapa.
Pagi itu,
saya kelas 2 SMA, bangun pagi dengan bingung karena hanya melihat ibu saya. Ibu
beberapa kali bertanya-tanya, ‘bapak ke mana ya kok ga pulang semalaman?’
Perasaan saya yang sudah tidak enak sejak semalam, hanya bisa diam sambil
berdoa semoga tidak ada apa-apa dengan bapak. Kami khawatir karena bapak tidak
pernah tidak pulang kecuali sedang ada acara wayangan (bapak saya pernah
menjadi dalang wayang kulit) dengan teman-teman dalangnya. Waktu itu belum memiliki Hp atau alat komunikasi jarak
jauh lainnya. Jadi kami hanya berharap dan berdoa segera ada kabar dengan
kepulangan bapak.
Saya mendapatkan kabar dari salah
seorang kerabat siangnya sepulang sekolah. Katanya bapak kecelakaan tadi malam,
ditabrak mobil yang dikendarai pemuda mabuk. Bapak dirawat di rumah sakit,
motornya rusak parah. Ibu pulang tidak terlalu sore hari itu dan saya segera
memberitahu kabar tentang bapak. Ibu langsung terduduk lemas sambil menangis.
Kami segera
ke rumah sakit sore itu dan menemukan bapak tak sadarkan diri. Kaki kirinya
diperban dan jahitan di beberapa bagian wajah. Kata dokter, tulang kaki kirinya
patah dan harus dioperasi. Ibu menangis lagi antara sedih melihat keadaan bapak
dan sedih memikirkan biaya operasi dari mana. Saya juga tidak tahu bagaimana
ibu akhirnya mendapatkan biaya, yang saya tahu, motor diperbaiki di bengkel
lalu dijual, dua minggu kami nginap di rumah sakit, sepulang dari rumah sakit,
ibu tidak memiliki modal lagi untuk bekerja dan beberapa kali ada orang menanyakan
soal utang ibu.
Yang saya
tahu kemudian, bapak dirawat di rumah, ibu bekerja di rumah salah satu
pedagang, orang Cina. Dulu mbak ini yang sering membeli beras dari ibu. Sebelum
bapak kecelakaan, ibu menjualkan beras para petani ke pedagang-pedagang besar
yang kebanyakan orang Cina, salah satunya mbak Maya. Mbak Maya, yang waktu itu
pembantunya berhenti bekerja karena menikah, menawari ibu bekerja di rumahnya,
mencuci, memasak, mengurus anaknya dan membantu berjualan di toko. Intinya, ibu
menjadi pembantu rumah tangga. Bagaimana dengan saya? Awalnya saya menangis
melihat ibu saya mencuci pakaian orang tapi dengan kesadaran hanya ini yang
bisa kami lakukan, saya pun membantunya. Mencuci, memasak, menjaga anaknya,
membantu di toko dan apa saja yang disuruh. Mbak Maya memperlakukan kami dengan
sangat baik, baik sekali malah.
Ada tiga
orang bapak-bapak yang membantu di toko mbak Maya, mereka datang pagi sebelum
toko buka dan pulang setelah tutup toko dan merapikan barang-barang yang sempat
berserak selama seharian melayani pembeli. Untuk pekerjaan rumah tangga, sempat
ada satu orang lagi selain kami berdua, sempat juga hanya kami berdua karena
satu orang ini tidak betah atau menikah.
Selama
bekerja di sana, jadwal saya membantu ibu adalah sepulang sekolah sampai malam
dan hari libur. Saya lebih banyak membantu di toko sedangkan ibu lebih banyak
mengerjakan pekerjaan rumah meskipun sering juga kami berganti peran atau mengerjakan
bersama-sama. Kabar baiknya, setiap ada PR yang cukup banyak dan setiap ujian, saya
diberi waktu lebih banyak untuk belajar.
Saya sering
bertemu guru-guru SMA saya yang ternyata sering belanja bulanan di situ. Ada
yang kaget waktu melihat saya sedang menyapu toko menjelang tutup, “oh, kamu
ya, Nok (Nduk, Nak untuk anak perempuan). Kirain siapa yang kerja di sini waktu
Maya cerita. Ternyata kamu”. Ada juga yang pernah belanja waktu saya sedang
menggendong anak mbak Maya sambil melayani di toko. Beliau berkata dengan nada
ramah, “ga pa pa ya, saya juga kalau libur ngerjain kerjaan rumah kok, ngurus
anak juga, semua lah.” Dan nasihat-nasihat lain dari mereka yang memotivasi
saya. Teman-teman sekolah, saya anggap mereka tidak tahu kondisi saya.
Masalah
timbul menjelang ujian kelulusan SMA. Yang kami pikirkan, ke mana saya setelah
lulus SMA. Bapak yang sempat beristirahat hampir
setahun karena belum bisa berjalan dengan baik, belum memiliki pekerjaan tetap.
Apa saja bapak lakukan, mencari bambu jika orang-orang butuh, sempat memelihara
kambing, dan pekerjaan apa pun yang kira-kira bisa menghasilkan uang. Ibu masih
menjadi pembantu rumah tangga. Setelah mencari informasi dari berbagai sumber,
tabungan kami hanya cukup untuk membayar uang pendaftaran.
Sekitar seminggu menjelang ujian akhir, Saya disuruh
berhenti membantu ibu dan fokus ke ujian. Saya melupakan soal ke mana setelah
ini dan mengikuti ujian akhir dengan sebaik-baiknya. Mbak Maya menambah satu
orang lagi untuk bekerja di rumahnya. Saya kembali membantu ibu selesai ujian,
hanya agar beliau bisa istirahat di sela-sela pekerjaanya. Kami mulai berpikir
lagi, ke mana saya setelah ini.
Saya mendapat informasi mengenai sekolah kedinasan,
STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dan STIS (Sekolah Tinggi Ilmu
Statistik). Tetapi saya tidak berani berpikir untuk mencoba. Meskipun itu
sekolah kedinasan, tidak ada biaya semesteran dengan jaminan pekerjaan ketika
lulus, saya berpikir biaya hidup selama kuliah dan tentu saja buku-buku dan
bahan belajar tentu tidak gratis. Pergi ke Jakarta, apa saya bisa mendapatkan
pekerjaan? Kalaupun saya mendapatkan pekerjaan, apa ada yang bisa saya sambil
kuliah?
Saya berpikir berulang-ulang hingga suatu sore, ketika
tutup toko, saya dan ibu mengepel toko dan rumah. Tidak ada orang lain waktu
itu. Mbak Maya sekeluarga sedang pergi mengajak serta teman kerja kami. Sambil
mengepel, saya beranikan untuk berbicara, “Bu, saya tidak usah kuliah saja.
Tidak ada biaya kan. Saya bekerja saja.”
Tanpa saya duga, ibu berkata dengan keras sambil
menangis, “kerja? Mau kerja apa kamu lulusan SMA? Atau mau jadi pembantu
selamanya? Kuliah sana! Soal biaya, pikirkan nanti!”
Saya tidak berani berkata apa-apa lagi.
Saya pun menerima ajakan teman-teman untuk mengikuti
SPMB, mendaftar ke STAN dan STIS. Saya juga mencoba mengirimkan surat lamaran
ke sekolah milik Bank BCA. Dengan doa yang cukup panjang, semoga diterima di
salah satu sekolah kedinasan.
Beberapa waktu kemudian, teman saya memberi tahu kalau
saya diterima di UNDIP Semarang. Mereka memberi selamat tapi sebenarnya hati
saya hancur karena saya berpikir bagaimana menjalani kuliah tanpa ada persiapan
biaya sedikit pun. Setidaknya masih ada harapan STAN dan STIS. BCA tidak ada
kabar, jadi saya anggap, saya tidak lulus bahan.
Sayangnya ujian seleksi STIS waktu itu tiga tahap, tes
tertulis, psikotes, dan terakhir tes kesehatan. Saya lulus tes tertulis dan
mengikuti psikotes. Saat psikotes itulah, saya diberi tahu teman kalau kami
tidak lulus STAN. Jadi harapan tinggal STIS. Tapi ini baru tes tahap II, kalau
ini tidak lulus, menganggurlah saya setahun ke depan.
Saya memutuskan mendaftar ulang ke UNDIP, membongkar
tabungan yang tinggal seberapa. Tentu saja masih dengan harapan diterima STIS.
Selesai mendaftar ulang, ada pengumuman tes STIS tahap II, psikotes. Saya lulus
dan harus mengikuti tes tahap III, tes kesehatan. Satu langkah lagi tapi siapa
yang bisa menjamin? Saya ikut tes kesehatan sambil menjalani kuliah jurusan
psikologi di UNDIP. Jurusan yang menarik, yang sungguh saya memang berminat
mempelajari ilmu ini, tapi memikirkan uang pembangunan dan sebagainya yang
tentu tidak sedikit, saya hanya melamun sepanjang hari, bermimpi berjalan
keluar dari kampus, tanpa menoleh ke balakang menuju STIS. Tapi mimpi saya
pudar, berganti rencana-rencana untuk mencari pekerjaan di sini jika tidak
diterima di STIS. Saya sudah bertanya ke beberapa orang dan belum mendapatkan
informasi tentang pekerjaan yang bisa saya lakukan sambil kuliah.
Tepat dua minggu kuliah yang dipenuhi dengan melamun
dan bermimpi, hari Jumat, saya harus ke kantor BPS Provinsi Jawa Tengah untuk
mengecek pengumuman kelulusan tes tahap III STIS. Saya di UNDIP Tembalang
sementara kantor BPS di Jl Pahlawan, daerah Peleburan. Saya bolos kuliah hari
itu, dengan dua macam konsekuensi. Jika saya lulus STIS, saya aman, saya tidak
perlu bertanggung jawab atas aksi bolos saya hari ini. Akan tetapi jika saya
tidak lulus, saya kehilangan absen satu hari dan harus berpikir keras untuk
bertahan hidup di sini.
Saya berjalan ke papan
pengumuman tanpa harapan apa-apa. Bisa dikatakan, saya siap dengan apapun
konsekuensinya. Saya mencari nomor ujian saya di sederet angka di papan
pengumuman. Saya lulus. Saya akan masuk STIS. Saya akan meninggalkan kampus
sekarang. Seperti lamunan dan mimpi saya dua minggu ini.
Terharu En baca kisahnya.. mudah2an bisa menginspirasi banyak org En..
ReplyDeleteKondisi keluargaku jg sedang terpuruk pas thn 2004 itu, bapak baru aja meninggal, ibuku cuma ibu rumah tangga n kakak2 juga belum ada yg lulus kuliah (tp bersyukur sdh semester akhir semua, nunggu wisuda).. tapi alhamdulillah ada jalan, selalu ada jalan..
Iya, Rin. Selalu ada jalan... Makasih ya...
DeleteWow..isnpiratif sekali kisahnya En....
ReplyDeleteMakasih, Pak :)
DeleteEn,,, boleh di share? kisah ini menginspirasi... ditunggu episode berikutnya ya...:)
ReplyDeleteSilakan, Nurin... Makasih.. :)
Deleteterharu, jadi inget masa lalu guee.... yang dilecehkan orang-orang, ah mana mungkin saya bisa kuliah, giliran aku punya keinginan daftar sekolah kedinasan, e ada temen SMA yang ngomong menjatuhkan harapan saya "Sekolah kedinasan kan mau bubar, kok daftar situ?"
ReplyDeleteAh sudahlah itu masa lalu
Kita sudah lalui sama-sama, Ndaru. Dan kita sudah menunjukkan kalau kita bisa... *hug*
DeleteKakak angkatan berapa?
ReplyDeleteAngkatan 46, Say... Dirimu angkatan berapa?
DeleteSubhanallah enny. Inspiring banget. Saya malu sama diri saya -_-
ReplyDeleteHeh? Apa sih pake malu segala? Biasa aja, Meti...
DeleteSubhanallah enny. Inspiring banget. Saya malu sama diri saya -_-
ReplyDelete