Thursday 28 February 2013

Karena Merantau, Aku Tak Takut Gelap

"Tadi malam di tempatmu mati lampu ga?" tanya salah seorang teman tadi pagi.
"Jam berapa?" tanya saya.
"Jam 1 an," jawab teman saya.
Saya hanya ber-ooo dan bilang kalau sudah tidur dan kalau saya sudah tidur, saya ga akan tahu lagi ada lampu mati. Tambah lagi, saya sering tidur dengan mematikan semua lampu kecuali lampu teras dan lampu kamar mandi. Jadi, lampu mati juga ga akan berpengaruh.

Tapi tidak bagi temen saya ini. Dia sama sekali ga bisa tidur dalam gelap. Malah dia ngerasa sesak napas kalau berada di tempat gelap, ngerasa ga ada udara dan akhirnya muncul kepanikan.

Sebenernya, saya sendiri pernah takut gelap. Tapi ga sampe sesak napas, hanya panik dan ngerasa dikelilingi banyak benda yang bisa tertabrak kapanpun. Itu mah takut aja ya, ga ada gejala apa-apa ya. Tapi karena penasaran, saya cari deh di mbah gugel (red: google), ternyata memang ada suatu gejala yang disebut Nyctophobia.
Nyctophobia adalah gejala takut pada suasana gelap yang membuat seseorang tidak bisa melakukan aktivitas secara biasa. Dalam suasana gelap, penderita nyctophobia bisa tiba-tiba lemas dan ketakutan. Bahkan ada penderita nyctophobia yang menolak keluar rumah saat malam dan memilih di dalam rumah dengan suasana lampu yang terang.

Kata juru bicara dari Warwick Castle, ‘ketika Anda berada di dalam kegelapan, pikiran Anda bisa memanipulasi Anda’. Jadi sebenernya, semua gejala yang dialami ketika kegelapan tiba-tiba muncul hanya dari pikiran kita. Jadi cara satu-satunya mengatasi ya dari pikiran kita juga. Kesimpulan saya sih begitu.

Hmm, jadi, teman saya ini bisa saja memang memang nyctophobia. Trus gimana dengan saya? Saya dulu juga sangat menolak berada dalam kegelapan. Saat malam, kalau lampu rumah kalo ada yang mati, pasti langsung saya nyalain. Kalau tidur dan lampu tiba-tiba mati, saya pasti terbangun meskipun tidur nyenyak sekalipun. Tapi itu dulu dan saya ga bisa mastiin termasuk nyctophobia atau ga. Yang penting sekarang saya bisa ‘berteman’ dengan si Gelap. Bahkan kalau tidur maunya gelap.

Kok bisa?

Ya bisa, berawal dari perantauan saya ke Jambi pada pertengahan Mei 2009, yang ternyata kondisi PLN sangat jauh berbeda dengan di Jawa. Kalau di Jawa, bisa dipastikan sangat jarang terjadi pemadaman listrik PLN, di Jambi bisa dipastikan sering terjadi pemadaman. Saat itu bahkan di surat kabar tercantum jadwal pemadaman listrik tiap daerah tiap harinya, yang rata-rata padam adalah 2 jam sehari. Tapi pada kenyataannya, sehari bisa saja lebih dari 2 jam. Atau pemadaman memang 2 jam tapi terjadi beberapa kali. Jadi kalau diakumulasi, bisa sampai 6 jam sehari.

Pertama kali mengalami pemadaman pada malam hari, panik pasti, ga bisa tidur juga, marah sendiri dan ga jauh-jauh dari hp (dipake terus biar ada cahaya gitu) kalau emergency lamp habis batre atau lupa ngisi ulang. Kedua kali ngalami pemadaman, reaksi masih sama. Sampai beberapa hari kemudian, reaksi kepanikan mulai berkurang, ga lagi marah-marah, mulai berpikir logis, ‘ga ada apa-apa yang bakal nabrak-nabrak, semua barang juga udah apal banget posisinya kok, ngapain dipikirin?’ Atau mikir ‘ya sudahlah, nanti juga hidup lagi, mending pejamkan mata, tidur’.

Mungkin kurang lebih setengah bulan, saya mulai bisa menguasai diri kalau suasana gelap. Bahkan mulai merasa nyaman kalau tidur dalam suasana gelap. Terasa lebih adem. Logis juga kan ya, soalnya lampu kan memancarkan panas juga, jadi kalau dimatiin lampunya, pancaran panas dari lampu ga ada lagi. Iya ga sih? Trus dari artikel-artikel yang sempat terbaca sih, tidur dalam gelap itu bagus buat hormon apa gitu lupa namanya yang bisa mencegah kanker. Tapi ga tahu juga efek yang ini bener apa ga.

Dan sampai akhirnya sekarang, saya ga peduli lagi mau gelap atau terang, saya bisa berbahagia, tinggal nyari senter, duduk manis, baca-baca buku, atau tidur aja dengan adeeem. Jadi mikir, kalau ga pernah datang ke Jambi, apakah saya masih takut gelap?

Artikel ini diikutkan dalam Givwaway Gendu-gendu Rasa Perantau 

No comments:

Post a Comment