“Ingat, jangan pernah datang lagi!” kata seorang wanita
dengan nada keras kepada Norman.
Norman tampak ingin mengatakan sesuatu tetapi wanita
itu sudah membalikkan badannya lalu meninggalkan Norman. Norman berdiri
mematung.
Aku mendekatinya lalu menepuk pundaknya. Norman
memanyunkan bibirnya.
“Ayo masuk,” Norman masuk ke dalam rumah. Aku
mengikutinya.
“Itu tadi adikmu, bukan?” tanyaku sambil
menyelonjorkan kaki di depan TV.
“Iya. Dan dia baru saja mendepakku,” Norman membuka
kulkas, mengeluarkan tiga minuman kaleng, lalu menyodorkannya padaku.
“Apa yang kamu lakukan sampai dia mendepakmu?” aku
membuka kaleng minuman di tanganku.
“Aku meminta ibu tinggal bersamaku.”
Jawaban Norman membuatku mengerutkan kening. Aku
memandangnya dan dia mengerti apa yang ingin kutanyakan.
“Kalian tahu aku jarang menghubungi keluargaku kan?
Aku menghargai kalian yang tidak pernah mengguruiku soal itu. Aku juga
menghargai bagaimana kalian tidak banyak bertanya kecuali jika aku bercerita.
Sekarang, aku akan menceritakan semuanya padamu,” Norman memperbaiki duduknya.
Kurasa aku akan mendapatkan semua jawaban tentang
pertanyaanku selama ini. Tentang mengapa Norman hampir tidak pernah pulang dan
tentang dia yang harus bekerja lebih keras daripada anak-anak lain ketika di
bangku kuliah.
“Dulu, aku meninggalkan rumah karena tidak ada yang
setuju aku kuliah. Mereka tidak memiliki biaya. Mereka tidak sanggup membiayai
kuliahku. Jadi, aku pergi tanpa izin. Aku mendaftar kuliah, mencari beasiswa,
dan mencari pekerjaan. Karena sibuk bekerja, aku tidak pernah bisa pulang
bahkan di hari libur sekalipun. Aku takut kalau meminta izin, mereka akan menggantikanku
dengan orang lain dan hilanglah penghasilanku,” Norman berhenti sejenak,
meminum beberapa teguk sari buah.
“Aku baru pulang menjelang wisuda,” Norman
melanjutkan, “adikku marah dan mengusirku bahkan sebelum aku memasuki pintu
rumah. Dia marah karena aku tidak pulang sehari pun ketika ayah dirawat di
rumah sakit selama dua minggu. Aku juga tidak pulang ketika ayah meninggal dan
tidak pernah sekali pun datang ke pemakaman. Adikku yang mengurus semuanya,
merawat ayah lalu merawat ibu yang sempat sakit setelah kepergian ayah.”
“Bukankah kamu beberapa kali pulang waktu itu?”
tanyaku.
“Iya. Aku memang pulang. Tetapi aku hanya melihat
ayahku dari kaca jendela rumah sakit. Aku tidak sanggup berada di dekatnya. Aku
tidak sanggup melihat ayahku yang dulu begitu kekar berubah menjadi sangat
kurus dan lemah. Saat pemakamannya, aku juga hanya melihat dari jauh. Aku tidak
sanggup menahan rasa bersalahku sampai aku tidak sanggup bertemu ibu dan
adikku,” Norman memainkan kaleng kosong di tangannya.
“Sekarang bagaimana?” aku memandang Norman.
“Aku memberanikan diri untuk pulang. Adikku
mengusirku seketika. Aku pun pergi dan kembali ketika hanya ada ibu di rumah.
Aku meminta maaf dan memintanya tinggal bersamaku karena adikku sebentar lagi
akan menikah dan kemungkinan besar akan tinggal bersama suaminya di pulau
seberang. Aku hanya berpikir, adikku akan sibuk mengurus keluarganya nanti jadi
sekarang giliranku merawat ibuku. Lagipula, aku tidak mengurus hal lain selain
pekerjaanku jadi aku memiliki lebih banyak waktu daripada adikku. Waktu ibuku
menceritakan kedatanganku dan niatku padanya, dia langsung menyusul ke sini dan
kamu lihat sendiri tadi,” Norman melemparkan kaleng di tangannya yang dengan mulus
mendarat di tong sampah di sudut ruangan.
Aku menepuk punggungnya, “kamu anak berbakti.”
Norman memandangku, “kalau kamu ingin mengejekku, aku
tidak terpengaruh. Kamu sudah tahu kalau aku ini anak yang tidak tahu diri,
tidak peduli ketika keluarganya membutuhkan.”
“Lupakan masa lalu,” kataku. “Yang penting sekarang
kamu sudah berubah dan akan terus berubah menjadi lebih baik.”
“Omong-omong,
apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu tidak terlalu lama meninggalkan rumah?
Kalau orang tuamu membutuhkan bantuan bagaimana?” Norman mengerutkan kening.
“Ada adikku di rumah. Dia sedang libur jadi dia
menyuruhku jalan-jalan,” aku meraih bantal yang dari tadi hanya bersandar di
dinding lalu berbaring meluruskan punggung. “Kurasa aku akan tidur siang
sejenak hari ini.”
“Kalau dipikir-pikir, kita bertiga memiliki masalah
yang berhubungan dengan orang tua. Hanya berbeda kasusnya,” Norman menghela
napas.
“Berbeda cara penyelesaian juga,” sahutku.
“Apakah Kana juga merindukan orang tuanya?” Norman
tiba-tiba bergumam.
“Aku yakin dia juga memiliki rasa rindu. Dia hanya
terlihat kuat di luar,” aku mencoba mengingat wajah Kana tetapi gagal karena
Norman menepuk pipiku. Aku mengaduh.
“Jangan mendekati Kana. Kamu sudah memiliki tunangan.
Yah, meskipun judulnya pernikahan yang tertunda, kalian masih memiliki ikatan
pertunangan,” Norman berkata dengan nada yang sengaja dibuat terdengar
mengancam tetapi sama sekali tidak terasa mengancam bagiku.
“Memangnya kamu siapanya Kana?” tanyaku.
“Aku penjaganya,” jawab Norman cepat.
“Mau sampai kapan kamu hanya menjadi seorang
penjaga?”
Norman memanyunkan bibirnya.
“Kana tidak akan membuka hatinya sampai dia merasa
hidupnya benar-benar teratur,” aku sengaja mengatakannya karena ingin mendengar
reaksi Norman.
“Tidak ada satupun dari kita bertiga yang hidupnya
teratur sekarang. Sebaiknya kita bekerja sama saja agar kita mampu melewati
semua ini dengan baik. Aku bahkan tidak bisa memikirkan hal lain selain
mendapatkan maaf dari ibu dan adikku,” Norman menyandarkan punggungnya ke
dinding.
“Kita akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik
saja,” aku memejamkan mata berniat tidur.
No comments:
Post a Comment