Thursday, 26 May 2011

Wangi Pagi


Angin ini, wangi ini, bahkan panas pagi ini, sama seperti tiga tahun lalu. Masa yang telah kuhabiskan bersamamu, bersama angin yang sama dan wangi yang sama. Wangi segar.
“Sudah makan belum?”
“Hah, apa?” aku gelagapan mendengar pertanyaan yang bagiku sangat aneh.
“Sudah makan belum?” kamu mengulangi pertanyaanmu sambil memandangiku dengan senyummu yang bagiku juga terasa aneh.
“Oh, sudah,” jawabku.
“Mau makan lagi nggak?”
“Enggak, perut apa gentong?”
“Yah, kali aja udah lapar lagi, kita kan sudah jalan cukup jauh.”
“Baru berapa meter,”
“Tuh, ada bakso, mau nggak?” kamu menunjuk ke tukang bakso di depan toko bangunan.
“Enggak, masih kenyang.”
Pertanyaanmu masih berlanjut seputar makanan. Apa pun yang terlihat, pasti kamu akan menawarkannya padaku. Aku masih terus menolak. Aku memang kenyang. Dan kita baru semenit berkenalan, mana mungkin aku langsung menerima tawaran makan.
Aku pun baru pertama kali ditanyai ‘sudah makan belum?’. Belum pernah ada yang menanyakan hal seperti itu padaku. Bahkan oleh orang tuaku sekalipun. Mereka terlalu sibuk, yang orang-orang menyebutnya dengan berbisnis. Saat aku bangun tidur, makanan sudah tersaji. Terserah padaku mau makan atau tidak, toh tidak ada yang tahu. Orang tuaku baru pulang sesaat sebelum aku tidur. Pertemuan yang sangat singkat dan tidak sempat bertanya tentang keadaanku apalagi berbincang-bincang.
“Sudah makan belum?” pertanyaanmu lagi-lagi soal makan. Ini pertemuan yang ketiga kali dan pertanyaan pertama yang muncul pasti itu. Belakangan aku baru tahu kalau itulah yang disebut perhatian.
“Sudah.”
“Siap berangkat?” tanyamu lagi tetap dengan senyuman aneh. Belakangan aku juga baru tahu kalau itulah yang disebut ramah.
“Ya, siap.”

Kita berjalan menyusuri gang untuk sampai ke jalan raya. Kuhirup dalam-dalam wangi yang selalu tercium saat bersamamu. Wangi segar. Aku sangat menyukainya. Sampai-sampai aku pernah mengitari toko parfum dan swalayan seharian hanya untuk mencari wangi yang sama dengan wangi itu. Hasilnya nol. Aku pun memberanikan bertanya padamu. Ternyata memang bukan parfum. Itu wangi semacam pelembut pakaian yang kamu gunakan saat mencuci. Kamu bercerita bagaimana kamu merendam pakaianmu dengan pelembut itu tiap bilasan terakhir.
Aku pun mencobanya, persis seperti caramu. Dan sampai sekarang aku dapat merasakan wangi itu setiap saat dari pakaianku. Dan setiap saat pula aku jadi teringat padamu. Wangi segar.
Aku mulai mengharapkan pertemuan denganmu. Tiap pagi aku sengaja siap-siap lebih awal lalu duduk di teras. Agar aku dapat melihatmu lewat depan rumahku dan kamu pasti akan menyapaku lalu mengajak berangkat bersama.
“Berangkat sekarang?” kamu tiba-tiba melongok dari pintu pagar yang terbuka lebar.
“Iya,” aku cepat-cepat berdiri.
“Sudah makan belum?” tanyamu setelah aku mengunci pagar.
“Sudah. Kamu sendiri sudah makan belum?” aku mencoba menanyakan hal yang sama padamu. Terasa kaku karena aku belum pernah melakukan itu sebelumnya.
“Sudah dong. Emang kalau belum, mau nraktir?” kamu tersenyum, masih seperti biasa. Ramah.
“Kebalik kali, aku kan baru kerja dua minggu. Gaji belum tetap. Kamu kan udah lama.”
“Mau aku traktir? Kapan-kapan kita jalan-jalan gimana?”
“Boleh. Kapan-kapan aja ya, sekarang masih sibuk.”
“Iya, aku tahu. Kapan-kapan kalau kamu ada waktu, bilang aja.”
Lalu mengalirlah cerita-ceritamu. Tentang kantor, teman-temanmu, dan keluargamu. Ayah ibumu, adik-adikmu, teman sepermainanmu. Pagi yang sepi sebelum mengenalmu, kini terasa lebih semarak. Entah kata apa yang pantas, mungkin menyenangkan.
Sampai di jalan raya, kamu selalu mengajakku menunggu di halte. Biar bisa duduk, alasanmu waktu itu. Tapi jarang sekali bisa duduk di halte pada jam semua orang berangkat kerja. Halte pasti sudah penuh.
Kamu tahu, hal yang sampai saat ini masih mengganggu pikiranku dan aku belum sempat menanyakannya padamu. Kamu selalu menungguku sampai aku naik bus. Kamu belum pernah, meskipun hanya sekali, berangkat lebih dulu. Kamu sengaja menungguku atau memang bus yang kamu tunggu selalu datang belakangan? Aku tak pernah tahu. Sampai saat ini pun, aku belum pernah melihatmu berangkat, naik bus atau mikrolet atau apalah.
Lalu tiba saat itu. Pada pagi yang sama, angin yang sama dan wangi yang sama. Aku menunggumu seperti biasa di teras rumah. Tapi kamu tak kunjung kelihatan, padahal aku sudah hampir satu jam menunggu. Aku pun berangkat sendiri. Tanpa kamu, tanpa cerita-ceritamu. Aku berharap besok pagi dapat bertemu denganmu. Tapi keesokan harinya tetap sama. Aku tetap berangkat sendiri, tak ada kamu dan cerita-ceritamu.
Tiga hari berlalu seperti itu. Aku mulai menyesal pernah menolak ajakanmu main ke rumahmu. Seandainya waktu itu aku menerima, pasti aku tahu di mana rumahmu dan aku bisa langsung ke rumahmu untuk bertemu denganmu. Aku sempat bertanya-tanya apa kamu sakit atau kamu memang libur? Aku sempat ingin menelponmu. Tapi  bodohnya aku. Nomor telfonmu pun aku tak tahu. Orang macam apa aku ini, nomor telfon teman sendiri tak tahu.
Dua minggu berikutnya masih berlalu tanpamu. Aku beranggapan kamu pindah rumah. Ya sudah, mungkin ceritamu sudah berakhir. Aku pun mulai melupakanmu. Aku anggap aku tak pernah bertemu dan berkenalan denganmu. Aku marah dan membencimu karena tak ada sedikitpun kabar darimu. Aku sudah benar-benar melupakanmu sampai kurasakan ada yang salah dalam tubuhku. Dan benar, dokter menyuruhku menginap di rumah sakit. Kegiatanku hanya berbaring dengan selang infus di tangan kiriku. Saat itulah aku teringat padamu. Tiba-tiba aku ingin sekali bertemu denganmu. Keinginan itu semakin kuat saat dokter memutuskan aku harus dioperasi.
Aku pun menyempatkan menulis surat ini. Aku tinggalkan pada pak Tarno. Siapa tahu kamu datang ke rumah dan tak ada aku di sana.
Aku tak berharap surat ini terbaca olehmu. Karena aku tak pernah tahu apakah kamu akan menemuiku atau mungkin kamu sudah melupakanku.
­­­Andra

“Dhani,” tangan halus ibuku menyentuh pundakku, “ayo kita pulang. Sudah sore.”
Aku melipat surat Andra, pelan, lalu kumasukkan dalam saku jaketku. Kupandangi pusara di hadapanku. Kuusap nisannya, berharap Andra dapat merasakan kehadiranku.
“Maaf Andra, aku tak sempat menemuimu. Aku takut untuk bertemu denganmu. Maafkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku takut kamu tidak bisa menerimaku dengan keadaanku saat ini.”
“Dhan,” ibu sudah memegang sandaran kursiku.
“Ayo kita pulang,” aku menoleh pada ibuku.
Masih terngiang kata-kata pak Tarno tadi pagi. “Non Andra meninggal dua hari yang lalu sebelum dioperasi. Dengar-dengar sih jantungnya bocor. Eh, saya kurang tahu. Tapi yang jelas, sakit jantung. Untung suratnya masih saya simpan, Den. Den Dhani baca saja sendiri.”
Pak Tarno memandangiku dengan serius, ”Den Dhani sendiri, apa yang terjadi?”
”Kecelakaan, Pak,” jawabku singkat.
Aku menarik napas panjang. Antara rasa menyesal dan menahan sakit. Menyesal karena tidak sempat bercerita padamu. Dan sakit karena telah menjadi pengecut.
“Kamu nggak pa pa Dhan?” Tanya ibu.
Aku mengangguk. Ibu tersenyum lalu mendorong kursi rodaku meninggalkan area pemakaman. Meninggalkan dirimu dan semua kenangan bersamamu. Samar-samar aku mencium aroma wangi. Wangi segar.

No comments:

Post a Comment