Saturday 21 February 2015

Sekolah atau Tidak, Itu Pilihan (Part II)


Ini kakak saya, Pujiati, (jilbab hijau)
di bagian ini, dia memiliki peran penting
“Mbak, saya tidak punya uang lagi,” saya hampir menangis.
“Sama. Pasien sepi. Sudah beberapa hari tidak ada yang pijat atau urut,” kakak saya menjawab dengan nada datar.
TIba-tiba hp saya berdering, seseorang di seberang sana memberi saya alamat, saya harus mengajar les privat di alamat itu, mulai besok. Saya langsung sujud syukur. 

Kuliah gratis ternyata tidak membuat saya bisa sekolah dengan tenang. Yang saya pikirkan, kuliah memang gratis, ada uang saku tiap bulan dari kampus tapi hanya menyisakan dua puluh lima ribu rupiah setelah digunakan untuk membayar uang kos.

Tahun pertama, saya masih memiliki sisa tabungan yang tak seberapa dan suntikan dana rutin dari mbak saya, Pujiati, yang bekerja di panti pijat. Mbak Puji tuna netra (buta). Dia sempat sekolah di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Kudus lalu melanjutkan di Destarata, yayasan untuk penyandang tuna netra di Jakarta Barat. Saya belum berpikir untuk bekerja karena selain masih menyesuaikan diri dengan mata kuliah yang ternyata saya hanya menyukai mata kuliah Kalkulus, mata kuliah lain entah kenapa hanya sambil lalu di otak dan membuat saya sering sakit kepala, saya juga sempat tertekan pada peraturan tentang Drop Out (DO). IPK, nilai dan perilaku yang buruk bisa menjadi alasan siswa dikeluarkan (DO).

Saya beruntung satu kos dengan teman-teman yang bisa saling memahami. Mereka mengajarkan hal paling pokok, menghemat anggaran. Tidak usah jajan, tidak usah membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, dan yang paling ‘dahsyat’, pola makan kami. Kami membeli nasi bungkus seharga seribu rupiah, sayur sebungkus seribu rupiah, dan tempe goreng seribu rupiah (sepotong seharga lima ratus rupiah). Nasi dan sayur dipisah, agar dapat kami makan tiga kali. Iya, tiga kali, pagi, siang, dan malam. Tak apa, sekalian menurunkan berat badan yang memang berhasil memangkas berat badan saya hampir sepuluh kilogram dalam waktu enam bulan. Tapi ini bukan soal memangkas berat badan, ini soal uang.

Setiap Sabtu dan Minggu, saya sering ke panti pijat tepat mbak Puji bekerja di Cililitan. Di sana ada dua lagi teman perempuannya  yang sama-sama tuna netra dan satu orang laki-laki yang menjaga panti dan membantu keperluan mbak Puji dan teman-temannya. Kadang saya menginap di sana, melihat sendiri bagaimana lelahnya mbak Puji setiap selesai memijat pasien. Mbak Puji memang cukup tinggi, sekitar 160 cm, tapi kurus, bahkan lebih kurus daripada saya. Memijat orang-orang yang kebanyakan berbadan besar, pasti membutuhkan tenaga ekstra. Dan kenyataan bahwa saya mengambil sebagian penghasilannya untuk makan, membuat saya sering harus menelan nasi begitu saja tanpa sempat menikmatinya.

Tanpa saya ketahui, bapak mulai bekerja, mencari bambu, menjual buah mangga dari pohon di pekarangan rumah, dan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Setiap beberapa bulan, bapak mengisi rekening saya. Saya dihubungi tetangga yang dimintai tolong bapak untuk mengirimkan uang itu. Jumlahnya tidak banyak tetapi sangat membantu saya untuk bertahan hidup. Kakak saya yang lain, yang sudah berkeluarga, sempat mengirimkan banyak bantuan. Saya semakin ingin segera bekerja. Maka, tahun kedua, setelah saya tidak terlalu tertekan pada ‘ancaman DO’, saya mulai mencari pekerjaan. Tentu saja yang bisa saya lakukan sambil kuliah. Saya mendaftar di bimbel untuk mengajar les privat. Setelah beberapa hari mendaftarkan diri ke sebuah lembaga bimbel, akhirnya saya ditelfon, di waktu yang sangat tepat.

Sore itu, uang hanya tinggal sepuluh ribu rupiah, saya ke Cililitan, ke tempat mbak Puji bekerja, saya duduk diam, yang membuat mbak Puji penasaran. Akhirnya saya beranikan berbicara.

“Mbak, saya tidak punya uang lagi,” saya hampir menangis.
“Sama. Pasien sepi. Sudah beberapa hari tidak ada yang pijat atau urut,” mbak Puji menjawab dengan nada datar.
TIba-tiba hp saya berdering, seseorang di seberang sana memberi saya alamat, saya harus mengajar les privat di alamat itu, mulai besok. Saya langsung sujud syukur.

Hidup saya mulai berjalan lebih mudah, sampai terdengar kabar bahwa mbak Maya, majikan tempat saya dulu bekerja mengalami masalah di usahanya. Tokonya tutup, mereka sekeluarga pindah dan itu berarti, semua pekerjanya termasuk ibu saya, kehilangan pekerjaan. Saya dan mbak Puji harus berhitung ulang pendapatan dan mengirimkan sebagian kepada ibu. Tidak pernah ada sisa untuk ditabung. Tapi mbak saya selalu berkata, “kalau apa yang kita dapat selalu terpakai begini, berarti uang kita berkah, tidak terpakai untuk hal sia-sia.”

Beberapa bulan kemudian, datang kabar lain, bapak masuk rumah sakit. Beliau menginjak pecahan kaca waktu mencari rumput. Diabetes Mellitus yang sudah lama mengendap di tubuh bapak, membuat lukanya semakin hari semakin memburuk. Saya ingin pulang tetapi saya terlalu memikirkan mata kuliah, absensi, dan DO. Saya memutuskan tidak pulang, ibu juga tidak keberatan, sambil terus berdoa agar bapak segera sembuh. Tetapi Allah memiliki ketentuan lain, dua minggu kemudian, bapak meninggal. Saya mendapat kabar pagi-pagi buta. Saya dan mbak Puji, pulang sorenya, dengan bus malam. Kami sempat berkhayal memiliki banyak uang, dan dapat pulang pagi setelah mendapat kabar, dengan pesawat tentu saja. Kami sampai rumah keesokan harinya, jangan tanya kami menangis atau tidak. Saya bahkan tidak merasa kehilangan sama sekali. Yang saya rasakan, bapak masih ada di rumah ini, bersama kami, memandang celoteh kami dari dipan di dekat pintu seperti yang bisa saya ingat.

Beberapa minggu setelah kepergian bapak, kami pun meminta ibu ke Jakarta. Kami memutuskan berkumpul di rumah kontrakan mbak Puji dan suaminya di Kali Malang. Ibu mencoba berjualan sarapan, nasi uduk, lontong, gado-gado, gorengan, dan makanan kecil apa saja yang sekiranya bisa menghasilkan uang. Setiap hari dari pagi sampai malam. Keuntungan, awalnya hampir tidak ada, bahkan sering rugi. Tetapi itu hal biasa bukan? Tidak ada usaha baru yang lancar seketika. Ibu bertahan, tetap berjualan sampai akhirnya lancar dan memiliki pelanggan.

Saya mulai menerima kenyataan kepergian bapak, terus belajar, membantu ibu belanja di pasar, dan menggantikannya berjualan ketika beliau istirahat. Tetapi saya mulai bosan dengan kuliah. Saya, entah mengapa, ketika memasuki semester tiga, dimasukkan ke jurusan Komputasi Statistik, yang hampir setiap hari harus berurusan dengan komputer*. Saya belum sanggup membeli barang semahal itu. Untuk transport dari Kali Malang ke kampus yang hanya tiga ribu rupiah saja, saya harus menghemat banyak hal. Setiap ada tugas, saya harus menumpang laptop teman kos yang dulu. Atau merayu penjaga lab komputer dan penjaga kampus agar mengizinkan saya menggunakan komputer di kampus lebih lama. Untungnya, mereka selalu mengerti. Tetapi terlalu sering berada di lingkungan kampus dan sekitarnya sampai malam, membuat saya mulai lelah. Sampai menjelang skripsi, saya mulai frustrasi, sakit kepala, ingin marah, entahlah. Akhirnya, kami mengumpulkan uang, untuk membeli CPU dulu. Monitornya menyusul beberapa minggu kemudian, dengan tambahan bantuan dari seorang teman. Alhamdulillaah.

Pengerjaan skripsi berjalan seperti selayaknya, ya, selayaknya mahasiswa lain. Seharian kuliah, semalaman suntuk di depan komputer, lari-lari mengejar dosen pembimbing, dengan tambahan tetap membantu ibu dan jualannya.

Ada banyak hal yang bisa saya syukuri, tapi satu hal yang sangat saya hargai, yaitu teman-teman saya, yang entah tahu atau tidak kondisi saya, mereka tetap berada di samping saya, memberi semangat, membantu dan semua yang terasa tidak mungkin, akhirnya menjadi mungkin. Dan tentu saja, dosen pembimbing saya yang luar biasa.

*Di STIS, penjurusan dimulai pada semester tiga, sebagian di Statistik, sebagian di Komputasi Statistik. Semester lima, jurusan Statistik dibagi lagi menjadi dua, Statistik Ekonomi dan Statistik Kependudukan. Mahasiswa diminta memilih jurusan, tetapi keputusan mereka di jurusan apa adalah kewenangan kampus dengan memlihat kemampuan mahasiswa selama kuliah.

2 comments: