Aku mengetuk pintu rumah Kana berkali-kali tetapi
tidak ada jawaban. Sepertinya dia serius tidak ingin menerima tamu. Aku
mengambil hp, mencari nomor Kana. Kana menjawab telepon pada nada sambung
ketiga.
“Halo,” jawab Kana dari seberang telepon.
“Kamu di mana?” tanyaku agak kesal.
“Di taman.”
“Aku di rumahmu.”
“Aku sudah bilang kalau aku tidak di rumah,” nada
suara Kana terdengar datar.
“Kupikir itu hanya alasanmu untuk tidak menerima
tamu.”
“Jadi kamu berpikir aku berbohong?” nada suara Kana
masih datar.
“Di taman mana?” aku bertanya tanpa memedulikan
pertanyaannya.
“Tempat biasa,” Kana masih menjawab dengan datar.
Aku menutup telepon dan bergegas menuju taman di
belakang komplek perkantoran pemerintah kota. Tidak sulit menemukan Kana di
antara orang-orang. Hanya dia yang tanpa canggung duduk sendirian di antara
para pasangan di taman mana pun di kota ini.
Kana tampak berkonsentrasi penuh pada sketsa di
tangannya. Beberapa pensil berserakan di dekat kakinya dan beberapa lagi
menggelinding ke rerumputan.
“Ini,” aku menyodorkan bungkusan di tanganku lalu
duduk di sampingnya. Aku memunguti pensil dari rerumputan dan mengumpulkannya
dengan pensil lain di samping Kana.
Kana meletakkan buku sketsa lalu membuka bungkusan
dariku. Dengan wajah sumringah, dia memandangku beberapa detik, “terima kasih
makanannya.”
Aku menjitak kening Kana, yang dijitak hanya
menringis sambil mengusap kening.
“Kana, ada yang ingin kutanyakan,” aku memandang Kana
serius.
“Mengapa kamu tidak pindah saja ke kampung
halamanmu?” tanyaku.
Kana menggeleng dan memberi tanda untuk menunggu
sampai dia selesai mengunyah.
“Mengapa tiba-tiba bertanya? Kamu sudah bosan
melihatku?” tanyanya kemudian.
“Aku baru tahu kalau orang tuamu sakit. Sudah lama,
bukan?”
Kana mengangguk lalu mulai mengunyah lagi.
“Mengapa aku yakin ini makanan pertama yang kamu
makan hari ini?” aku memandang Kana yang lahap.
Kana mengacungkan jempol yang berarti aku benar. Aku
membiarkan Kana menghabiskan makanannya. Beberapa menit berlalu tanpa
percakapan.
“Kenyaaaang,” Kana meluruskan kaki sambil meraih
botol minumnya.
“Bukankah lebih baik dekat dengan keluargamu?”
tanyaku penasaran. Kemarin aku baru mengetahui kalau orang tua Kana sakit sejak
dua tahun yang lalu. Setelah kuingat-ingat, dua tahun ini, Kana hanya pulang
setahun sekali, tidak seperti biasanya yang sampai tiga atau empat kali.
Bukankah seorang anak akan lebih sering pulang ketika orang tuanya sakit?
Bahkan aku sering melihat, mereka akan pindah pekerjaan agar lebih dekat dengan
orang tua. Tetapi Kana terlihat sebaliknya.
“Aku memiliki alasan yang tidak semua orang akan
mengerti,” kalimat Kana membuatku memandangnya penasaran. “Apa kamu mau
mendengarkan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku akan tetap di sini agar tidak ada yang tahu
kalau aku makan sekali sehari. Aku akan tetap di sini agar tidak ada yang
mengajakku berjalan-jalan keliling kota dan mencicipi makanan enak, yang
akhirnya membuatku menghabiskan banyak uang. Aku akan tetap di sini agar aku
tidak melihat teman-temanku yang memiliki barang-barang mahal, yang membuatku
juga ingin memilikinya. Aku akan tetap di sini karena tidak ada yang
mengritikku ketika bajuku berantakan dan hanya membeli barang-barang murah.
Dengan cara ini, aku bisa menyimpan uangku. Aku bisa menambah jumlah uang yang
kukirim kepada keluargaku,” Kana menghela napas.
Aku mengangguk-angguk, “sekarang aku tahu alasannya.”
“Terima kasih sudah bertanya. Beberapa orang yang
melihat, hanya bisa menghakimi tanpa ingin tahu alasanku,” Kana kembali melipat
kakinya.
“Tetapi bagian makan sekali sehari itu tidak masuk
akal. Kalau kamu sakit, bagaimana kamu akan bekerja?”
“Itu dulu. Aku dulu memang makan sekali sehari.
Tetapi sekarang gajiku sudah naik, jadi aku makan dua kali sehari. Akan menjadi
tiga kali kalau kamu membawakanku makanan,” Kana cengengesan.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku benar-benar
tidak mengerti apa yang ada dalam pikirannya.
Aku kadang berpikir Kana adalah makhluk asing. Saat
teman-teman seusianya sudah menikah dan memiliki anak, dia masih
kekanak-kanakan. Berlarian ke sana ke mari, bercanda sesuka hati, dan menolak
menjalin hubungan serius dengan lawan jenis. Dia tidak memiliki sahabat dekat
di kota ini, selain aku dan Gama. Tetapi siapa yang tahu kalau di balik sifat
kekanak-kanakannya, dia menanggung beban yang berat. Hidup yang tidak mudah
sejak muda, kelaparan, terlilit utang, terancam putus sekolah, dan sekarang,
orang tua yang sakit dengan perawatan yang tidak murah.
Aku penasaran bagaimana sikapnya di antara
keluarganya. Apakah kekanak-kankan seperti ini atau akan berbeda? Kadang-kadang
aku pun seperti kebanyakan orang yang mengenalnya, menerka-nerka akan seperti
apa kalau dia menikah. Akan seperti apa dia bersikap pada suami dan bagaimana
kalau dia memiliki anak. Aku sering tertawa sendiri membayangkan Kana berebut
mainan dengna anaknya.
“Apa yang kamu pikirkan?” Kana mengusik lamunan
singkatku.
“Kana, kamu bilang, kamu tetap di sini agar tidak ada
yang tahu kalau kamu makan sekali sehari. Tetapi aku tahu.”
“Ya, biar kamu saja yang tahu.”
“Tidak. Akan ada satu orang lagi yang tahu.”
Kana menoleh, “siapa?”
“Gama. Dia akan pulang.”
“Dia sering pulang dan dia tidak tahu,” Kana berkata
yakin.
“Kali ini dia akan tahu,” aku memandang Kana yang
mengerutkan kening. “Kali ini dia benar-benar pulang dan tidak akan pergi lagi.”
No comments:
Post a Comment