Monday 6 February 2017

Rantai, Lingkaran, Mengulang Sejarah, Whatever….

“Ketrima di mana?”
“ITB.”
“Jurusan?”
“TI.”
“Lho bukannya kamu gak suka yang berhubungan ama TI? Itu namanya mengulang sejarah.”

Hari itu, aku mengingat semua yang tersisa di memoriku. Tentang apa yang tidak kusuka dan apa yang sebenarnya kusuka. Aku tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu.

Dulu, dua minggu di Undip, seminggu masa orientasi, seminggu masa perkuliahan. Tetapi aku hanya sempat mengikuti dua kelas sebelum akhirnya memutuskan memilih tempat lain. Perasaanku selama di kelas itu, aku merasa bukan bagian darinya meskipun awalnya aku mengira aku menyukainya, tentang psikologi. Tetapi kenyataannya, selama di kelas, aku hanya diam dan sibuk mengagumi siswa lain yang sedang berdiskusi dengan dosen.

Di STIS, ternyata perasaanku lebih buruk. Aku tidak menikmati satu kelas pun. Aku berusaha sebaik mungkin tetapi tidak ada yang benar-benar kupahami. Aku tidak mengerti. Perasaanku semakin buruk ketika masa penjurusan di semester tiga, entah mengapa aku masuk jurusan komputasi. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kulakukan. Masa itu adalah kegagalan total bagiku. Nilai akhir yang tidak mencapai 3,0 dan tidak bisa membuat apa pun sesuai dengan yang telah kupelajari. Semua seperti hilang begitu saja. Dan membuatku menyesal selama lima tahun setelah kelulusan. Iya, lima tahun berharap bisa memperbaiki apa yang telah kulakukan sekaligus dihantui ketakutan akan melakukan kegagalan yang sama. Membuatku enggan memikirkan tentang sekolah.

Sampai akhirnya aku bisa melaluinya dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Jika aku tidak bisa mengubah masa lalu maka aku akan merancang masa depan. Aku tidak akan mengulang sejarah.

Tetapi semua ini kembali menjadi masalah di semester dua, ketika salah seorang dosen dan salah seorang teman mengatakan, “mencari topik tesis, carilah yang sesuai passion. Carilah yang jika kalian menyelesaikannya, kalian merasa senang.” Aku pikir, hidupku akan berakhir saat itu. Bagaimana aku bisa tahu apa yang membuatku senang? Aku tidak pernah tahu passion-ku apa. Kalau passion memang sesuatu yang membuatku senang, maka aku senang kalau bisa menyelesaikan apa yang diperintahkan atasan. Tetapi, aku tidak merasa bahagia.

Selama ini aku hanya ‘melakukan apa yang harus kulakukan’. Aku melakukan apa yang orang lain perintahkan, apa yang orang inginkan, dan apa yang bisa membuat orang mengatakan kalau aku hebat. Iya, aku ingin dibilang hebat karena sebelumnya aku hanyalah debu di bawah meja. Tak berharga. Dan tidak memahami apa-apa. Hasilnya, aku tetap tidak tahu apa-apa. Aku juga tetap tidak bahagia.

Aku pun mencari lagi tentang apa yang seharusnya membuatku bahagia.

Aku menyukai banyak hal, menulis, menggambar, menjahit, fotografi, drama, musik, aku menyukai semuanya meskipun tak satu pun aku mahir di dalamnya. Aku hanya senang ketika bisa menyelesaikan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal itu. Dan suasana hatiku selalu menjadi lebih baik ketika aku menyelesaikannya. Tetapi apakah ini memang passion? Atau hanya kepuasan karena bisa belajar sendiri? Aku tidak tahu.

Semakin aku mencoba mencari tahu apa passion-ku yang sebenarnya, aku dikacaukan dengan kata bakat. Apa itu bakat? Aku melihat beberapa orang dengan mudahnya membuat sesuatu yang berhubungan dengan pemrograman, melihat orang yang dengan mudahnya membuat lukisan, melihat orang dengan mudahnya membuat tulisan, dan beberapa orang dengan mudahnya membuat apa yang mereka inginkan. Bakat? Lalu bakatku apa? Apa hubungan bakat dengan passion?

Aku tidak memiliki petunjuk sama sekali.

Semakin hari semakin banyak yang kutanyakan. Apa yang kulakukan di sini? Apa yang harus kuselesaikan? Mengapa? Mengapa aku tidak bahagia selama melakukannya? Kalau aku tidak bahagia, mengapa aku masih melakukannya?

Aku tidak bisa mengatakan menggambar, menulis, menjahit, musik adalah passion-ku. Aku memang bahagia ketika melakukannya tetapi apa benar aku memang bahagia? Atau aku bahagia karena aku melakukannya tanpa perintah? Bagaimana kalau aku bekerja di bidang gambar-menggambar dan setiap hari aku harus menggambar apa yang orang lain perintahkan? Apakah aku masih bahagia melakukannya? Atau malah mungkin aku akan bahagia ketika belajar pemrograman? Sesuatu yang selama ini menjadi sumber penyesalanku. Ah tidak, bukan itu penyebabnya. Penyesalanku disebabkan ketidakmampuanku mencintainya.

Entahlah. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah aku akan kembali mengulang sejarah? Gagal untuk kedua kalinya?

No comments:

Post a Comment