Tuesday 25 October 2016

Bukan Glaukoma, Bukan Leukoma, Melainkan….. (Masih Tentang Seppi)

Selasa, 20 September 2016
Aku membawa Seppi ke RSCM Kirana sesuai petunjuk dari dokter di rumah sakit umum.
“Kita tidak bisa menerima hasil dari dokter sebelumnya yang menyatakan galukoma, kalau dari pemeriksaan awal, suspect-nya leukoma atau mikrokornea asd. Tapi kita perlu USG untuk memeriksa bagian dalam mata, apakah ada tumor atau yang lain. Tapi ruangan USG sudah tutup karena sudah kesorean, besok atau minnggu depan ke sini lagi untuk USG. Datang lebih pagi ya, jam tujuh,” kata dokter hari itu.
Leukoma, sebuah kelainan dengan kornea berwarna putih, dan mungkin ada tumor di dalamnya. Mikrokornea asd, pembentukan kornea yang tidak sempurna selama dalam kandungan sehingga ukurannya kecil. Setidaknya itulah yang sempat aku tangkap. Untuk mencari lebih jauh, ah, sudahlah, aku lemah.

 
Selasa, 27 September 2016
USG. Dokter melihat bagian dalam tidak ada masalah, “tidak ada tumor atau penyakit apa pun, ukurannya normal. Hanya saja, pembentukan matanya tidak sempurna sewaktu dalam kandungan sehingga lapisan-lapisan di atas kornea yang seharusnya terpisah, tidak terjadi proses pemisahan. Hal itulah yang menyebabkan ada lapisan putih di bagian luar mata yang terlihat seperti selaput yang menutupi matanya. Akibatnya, penangkapan cahaya oleh mata juga akan berkurang. Kalau penangkapan cahaya berkurang, yah, tentu saja benda tidak akan terlihat jelas. Tetapi saat ini, belum bisa diputuskan ada tindakan apa, donor atau operasi, belum, karena dia masih terlalu kecil. Dirangsang aja matanya dengan mainan yang muter-muter itu,” akhir percakapan hari itu.
Pemeriksaan selanjutnya eye-care (lagi) untuk mengecek tekanan mata yang hasilnya cukup tinggi, 33.

Selasa, 11 Oktober 2016
Eye-care(untuk kesekian kalinya), 28.
“Jadi anak ibu ini mengalami bla bla bla asertif degeneration (atau entah apa lah, aku tidak terlalu ingat), irisnya yang seharusnya memisah, masih menempel di sini (dokter itu menggambarkan bagian-bagian mata). Lalu di bagian sini (dekat iris), diproduksi air mata yang gunanya menjaga kelembaban mata. Masalahnya, saluran yang namanya bla bla bla tertutup karena pemisahan yang tidak sempurna tadi, jadi air mata yang diproduksi tidak bisa keluar. Kalau dibiarkan terus menerus, air mata akan akan menumpuk di sini. Kalau menumpuk, akan mengakibatkan kerusakan di bagian dalam. Obat tetes mata yang kita berikan kemarin itu, untuk menekan proses produksi air mata agar tidak terlalu banyak dan untuk menurunkan tekanan mata. Tetapi, tekanannya dari 33 sekarang menjadi 28, tidak berkurang secara signifikan. Takutnya, kalau tekanan matanya terus bertambah, anak ini akan mengalami rasa sakit dan tentu saja akan ada efek lain terhadap kondisi matanya. Yang kita harapkan, karena memang ini bawaan, kita belum bisa melakukan apa-apa, jadi yang kita harapkan masih ada cahaya yang bisa masuk ke mata, setidaknya baying-bayang. Saran saya juga, kita lakukan tindakan untuk membuat saluran yang bisa mengeluarkan air mata yang terus diproduksi ini. Karena penggunaan obat tetes yang kemarin tidak akan efektif dan kalau tidak dilakukan tindakan, anak ibu akan terus menerus bergantung kepada obat ini. Nanti, kita konsultasikan dulu dengan bagian glaucoma, sebelum adanya tindakan.”

Di bagian glaucoma.
“Ini dulu lahir prematur?” tanya dokter di bagian glaucoma.
“Enggak. Cukup bulan,” jawab saya.
“Ini anak ke berapa?”
“Anak kedua.”
“Kakaknya umur berapa?”
“Sembilan tahun.”
“Normal?”
“Iya, normal.”
“Kapan-kapan kakaknya diperiksa juga ya. Kan kita gak tahu orang tuanya dulu penyebab tuna netranya apa. Takut ada masalah suatu hari nanti.”
Fine, karena Seppi, sekarang Indri dicurigai. Sekalian saja curigai saya, Dokter. Mata saya juga bermasalah, tapi dokter yang dulu cuma bilang otot mata sudah lemah jadi tidak bisa berakomodasi dengan mudah. Ah, sudahlah.
“Anak ibu ini harus dioperasi ya, kalau tidak, anak ibu tidak akan bisa melihat,” kata dokter di bagian glaucoma. “Tetapi tindakannya tidak cukup hanya dengan bla bla bla (istilah tindakan untuk membuat saluran pengeluaran air mata). Kalau ini tindakannya implant (entah apa lagi yang dimaksud implant ini).”
Aku, ah, entahlah, aku sudah mati rasa, aku sudah cukup banyak mendengar sejak Seppi berusia empat hari. Bisa dibilang, aku sudah pasrah apa pun yang terjadi. Ibunya Seppi menangis, ah, tentu saja, dia ibunya. Perihal masalah penglihatan pun, dia yang paling paham. Aku tidak pernah memahami hidupnya, aku hanya pendamping, hanya tiang penyangga yang diharuskan untuk kuat padahal aku selalu takut roboh sewaktu-waktu.
“Saya diskusikan dulu dengan dokter tadi ya, tolong tunggu sebentar.”

Menunggu lagi, menunggu keputusan tindakan atau entah apa lah. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

“Maaf, Bu, untuk saat ini, belum bisa dilakukan tindakan karena cukup sulit,” kata salah seorang dokter yang masih muda. “Ini kita tambahin obat tetesnya, control lagi dua minggu lagi untuk memastikan akan dilakukan tindakan apa.”
Oke, fine. Dua minggu lalu setelah USG dibilang bagian dalam matanya tidak ada masalah. Tadi dibilang iris dan sebagainya saling menempel, perlu tindakan. Lalu sekarang tidak bisa dilakukan tindakan karena sulit, lihat dua minggu lagi. Ah, sudahlah, kalian semua pasti lelah dan tidak ingin gegabah melakukan tindakan. Kalian pasti akan memikirkan banyak hal.
TIba-tiba aku menyesal mengapa aku dulu tidak mengejar cita-citaku menjadi dokter. Setidaknya, aku bisa memahami mengapa dokter seperti itu. Dan dua minggu yang dimaksud dokter itu adalah hari ini.

Tasukete kudasai.

7 comments:

  1. Semangat enny, km pasti bisa, km pasti kuat, kamu bulek yang hebaaaattt. #ikutan mewek

    ReplyDelete
  2. Semangat enny, km pasti bisa, km pasti kuat, kamu bulek yang hebaaaattt. #ikutan mewek

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Ka,bisa minta nmr hp kaka? Sy mau tau mengenai gangguan anak sy persis seperti kaka,terimaksh

      Delete
    2. Maaf baru baca, Kak... Email ke saya, Kak... enny.kus[at]gmail[dot]com, nanti saya kirim no hp via email...

      Delete