Wednesday 21 January 2015

Sekolah atau Tidak, Itu Pilihan (Part I)

Beberapa waktu lalu, ada seorang teman menghubungi saya. Dia bercerita soal anak dari rewangnya (pembantunya) yang masih SLTP tapi sudah malas sekolah. Selalu ada alasan anak itu untuk tidak sekolah. Teman saya ini meminta saya berbagi cerita tentang bagaimana saya tetap memilih sekolah meskipun keadaan dulu cukup sulit. Ya, cukup sulit buat kami tapi kalau saya memperhatikan sekeliling, masih banyak yang hidupnya lebih sulit. Jadi, saya hanya ingin berbagi sedikit saja tentang kisah saya yang tak seberapa.

Pagi itu, saya kelas 2 SMA, bangun pagi dengan bingung karena hanya melihat ibu saya. Ibu beberapa kali bertanya-tanya, ‘bapak ke mana ya kok ga pulang semalaman?’ Perasaan saya yang sudah tidak enak sejak semalam, hanya bisa diam sambil berdoa semoga tidak ada apa-apa dengan bapak. Kami khawatir karena bapak tidak pernah tidak pulang kecuali sedang ada acara wayangan (bapak saya pernah menjadi dalang wayang kulit) dengan teman-teman dalangnya. Waktu itu belum memiliki Hp atau alat komunikasi jarak jauh lainnya. Jadi kami hanya berharap dan berdoa segera ada kabar dengan kepulangan bapak.

Saya mendapatkan kabar dari salah seorang kerabat siangnya sepulang sekolah. Katanya bapak kecelakaan tadi malam, ditabrak mobil yang dikendarai pemuda mabuk. Bapak dirawat di rumah sakit, motornya rusak parah. Ibu pulang tidak terlalu sore hari itu dan saya segera memberitahu kabar tentang bapak. Ibu langsung terduduk lemas sambil menangis.

Kami segera ke rumah sakit sore itu dan menemukan bapak tak sadarkan diri. Kaki kirinya diperban dan jahitan di beberapa bagian wajah. Kata dokter, tulang kaki kirinya patah dan harus dioperasi. Ibu menangis lagi antara sedih melihat keadaan bapak dan sedih memikirkan biaya operasi dari mana. Saya juga tidak tahu bagaimana ibu akhirnya mendapatkan biaya, yang saya tahu, motor diperbaiki di bengkel lalu dijual, dua minggu kami nginap di rumah sakit, sepulang dari rumah sakit, ibu tidak memiliki modal lagi untuk bekerja dan beberapa kali ada orang menanyakan soal utang ibu.

Yang saya tahu kemudian, bapak dirawat di rumah, ibu bekerja di rumah salah satu pedagang, orang Cina. Dulu mbak ini yang sering membeli beras dari ibu. Sebelum bapak kecelakaan, ibu menjualkan beras para petani ke pedagang-pedagang besar yang kebanyakan orang Cina, salah satunya mbak Maya. Mbak Maya, yang waktu itu pembantunya berhenti bekerja karena menikah, menawari ibu bekerja di rumahnya, mencuci, memasak, mengurus anaknya dan membantu berjualan di toko. Intinya, ibu menjadi pembantu rumah tangga. Bagaimana dengan saya? Awalnya saya menangis melihat ibu saya mencuci pakaian orang tapi dengan kesadaran hanya ini yang bisa kami lakukan, saya pun membantunya. Mencuci, memasak, menjaga anaknya, membantu di toko dan apa saja yang disuruh. Mbak Maya memperlakukan kami dengan sangat baik, baik sekali malah.

Ada tiga orang bapak-bapak yang membantu di toko mbak Maya, mereka datang pagi sebelum toko buka dan pulang setelah tutup toko dan merapikan barang-barang yang sempat berserak selama seharian melayani pembeli. Untuk pekerjaan rumah tangga, sempat ada satu orang lagi selain kami berdua, sempat juga hanya kami berdua karena satu orang ini tidak betah atau menikah.

Selama bekerja di sana, jadwal saya membantu ibu adalah sepulang sekolah sampai malam dan hari libur. Saya lebih banyak membantu di toko sedangkan ibu lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah meskipun sering juga kami berganti peran atau mengerjakan bersama-sama. Kabar baiknya, setiap ada PR yang cukup banyak dan setiap ujian, saya diberi waktu lebih banyak untuk belajar.

Saya sering bertemu guru-guru SMA saya yang ternyata sering belanja bulanan di situ. Ada yang kaget waktu melihat saya sedang menyapu toko menjelang tutup, “oh, kamu ya, Nok (Nduk, Nak untuk anak perempuan). Kirain siapa yang kerja di sini waktu Maya cerita. Ternyata kamu”. Ada juga yang pernah belanja waktu saya sedang menggendong anak mbak Maya sambil melayani di toko. Beliau berkata dengan nada ramah, “ga pa pa ya, saya juga kalau libur ngerjain kerjaan rumah kok, ngurus anak juga, semua lah.” Dan nasihat-nasihat lain dari mereka yang memotivasi saya. Teman-teman sekolah, saya anggap mereka tidak tahu kondisi saya.

Masalah timbul menjelang ujian kelulusan SMA. Yang kami pikirkan, ke mana saya setelah lulus SMA. Bapak yang sempat beristirahat hampir setahun karena belum bisa berjalan dengan baik, belum memiliki pekerjaan tetap. Apa saja bapak lakukan, mencari bambu jika orang-orang butuh, sempat memelihara kambing, dan pekerjaan apa pun yang kira-kira bisa menghasilkan uang. Ibu masih menjadi pembantu rumah tangga. Setelah mencari informasi dari berbagai sumber, tabungan kami hanya cukup untuk membayar uang pendaftaran.

Sekitar seminggu menjelang ujian akhir, Saya disuruh berhenti membantu ibu dan fokus ke ujian. Saya melupakan soal ke mana setelah ini dan mengikuti ujian akhir dengan sebaik-baiknya. Mbak Maya menambah satu orang lagi untuk bekerja di rumahnya. Saya kembali membantu ibu selesai ujian, hanya agar beliau bisa istirahat di sela-sela pekerjaanya. Kami mulai berpikir lagi, ke mana saya setelah ini.

Saya mendapat informasi mengenai sekolah kedinasan, STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dan STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik). Tetapi saya tidak berani berpikir untuk mencoba. Meskipun itu sekolah kedinasan, tidak ada biaya semesteran dengan jaminan pekerjaan ketika lulus, saya berpikir biaya hidup selama kuliah dan tentu saja buku-buku dan bahan belajar tentu tidak gratis. Pergi ke Jakarta, apa saya bisa mendapatkan pekerjaan? Kalaupun saya mendapatkan pekerjaan, apa ada yang bisa saya sambil kuliah?

Saya berpikir berulang-ulang hingga suatu sore, ketika tutup toko, saya dan ibu mengepel toko dan rumah. Tidak ada orang lain waktu itu. Mbak Maya sekeluarga sedang pergi mengajak serta teman kerja kami. Sambil mengepel, saya beranikan untuk berbicara, “Bu, saya tidak usah kuliah saja. Tidak ada biaya kan. Saya bekerja saja.”

Tanpa saya duga, ibu berkata dengan keras sambil menangis, “kerja? Mau kerja apa kamu lulusan SMA? Atau mau jadi pembantu selamanya? Kuliah sana! Soal biaya, pikirkan nanti!”

Saya tidak berani berkata apa-apa lagi.

Saya pun menerima ajakan teman-teman untuk mengikuti SPMB, mendaftar ke STAN dan STIS. Saya juga mencoba mengirimkan surat lamaran ke sekolah milik Bank BCA. Dengan doa yang cukup panjang, semoga diterima di salah satu sekolah kedinasan.

Beberapa waktu kemudian, teman saya memberi tahu kalau saya diterima di UNDIP Semarang. Mereka memberi selamat tapi sebenarnya hati saya hancur karena saya berpikir bagaimana menjalani kuliah tanpa ada persiapan biaya sedikit pun. Setidaknya masih ada harapan STAN dan STIS. BCA tidak ada kabar, jadi saya anggap, saya tidak lulus bahan.

Sayangnya ujian seleksi STIS waktu itu tiga tahap, tes tertulis, psikotes, dan terakhir tes kesehatan. Saya lulus tes tertulis dan mengikuti psikotes. Saat psikotes itulah, saya diberi tahu teman kalau kami tidak lulus STAN. Jadi harapan tinggal STIS. Tapi ini baru tes tahap II, kalau ini tidak lulus, menganggurlah saya setahun ke depan.

Saya memutuskan mendaftar ulang ke UNDIP, membongkar tabungan yang tinggal seberapa. Tentu saja masih dengan harapan diterima STIS. Selesai mendaftar ulang, ada pengumuman tes STIS tahap II, psikotes. Saya lulus dan harus mengikuti tes tahap III, tes kesehatan. Satu langkah lagi tapi siapa yang bisa menjamin? Saya ikut tes kesehatan sambil menjalani kuliah jurusan psikologi di UNDIP. Jurusan yang menarik, yang sungguh saya memang berminat mempelajari ilmu ini, tapi memikirkan uang pembangunan dan sebagainya yang tentu tidak sedikit, saya hanya melamun sepanjang hari, bermimpi berjalan keluar dari kampus, tanpa menoleh ke balakang menuju STIS. Tapi mimpi saya pudar, berganti rencana-rencana untuk mencari pekerjaan di sini jika tidak diterima di STIS. Saya sudah bertanya ke beberapa orang dan belum mendapatkan informasi tentang pekerjaan yang bisa saya lakukan sambil kuliah.

Tepat dua minggu kuliah yang dipenuhi dengan melamun dan bermimpi, hari Jumat, saya harus ke kantor BPS Provinsi Jawa Tengah untuk mengecek pengumuman kelulusan tes tahap III STIS. Saya di UNDIP Tembalang sementara kantor BPS di Jl Pahlawan, daerah Peleburan. Saya bolos kuliah hari itu, dengan dua macam konsekuensi. Jika saya lulus STIS, saya aman, saya tidak perlu bertanggung jawab atas aksi bolos saya hari ini. Akan tetapi jika saya tidak lulus, saya kehilangan absen satu hari dan harus berpikir keras untuk bertahan hidup di sini.

Saya berjalan ke papan pengumuman tanpa harapan apa-apa. Bisa dikatakan, saya siap dengan apapun konsekuensinya. Saya mencari nomor ujian saya di sederet angka di papan pengumuman. Saya lulus. Saya akan masuk STIS. Saya akan meninggalkan kampus sekarang. Seperti lamunan dan mimpi saya dua minggu ini.

13 comments:

  1. Terharu En baca kisahnya.. mudah2an bisa menginspirasi banyak org En..

    Kondisi keluargaku jg sedang terpuruk pas thn 2004 itu, bapak baru aja meninggal, ibuku cuma ibu rumah tangga n kakak2 juga belum ada yg lulus kuliah (tp bersyukur sdh semester akhir semua, nunggu wisuda).. tapi alhamdulillah ada jalan, selalu ada jalan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Rin. Selalu ada jalan... Makasih ya...

      Delete
  2. Wow..isnpiratif sekali kisahnya En....

    ReplyDelete
  3. En,,, boleh di share? kisah ini menginspirasi... ditunggu episode berikutnya ya...:)

    ReplyDelete
  4. terharu, jadi inget masa lalu guee.... yang dilecehkan orang-orang, ah mana mungkin saya bisa kuliah, giliran aku punya keinginan daftar sekolah kedinasan, e ada temen SMA yang ngomong menjatuhkan harapan saya "Sekolah kedinasan kan mau bubar, kok daftar situ?"
    Ah sudahlah itu masa lalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kita sudah lalui sama-sama, Ndaru. Dan kita sudah menunjukkan kalau kita bisa... *hug*

      Delete
  5. Replies
    1. Angkatan 46, Say... Dirimu angkatan berapa?

      Delete
  6. Subhanallah enny. Inspiring banget. Saya malu sama diri saya -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heh? Apa sih pake malu segala? Biasa aja, Meti...

      Delete
  7. Subhanallah enny. Inspiring banget. Saya malu sama diri saya -_-

    ReplyDelete