Monday 19 September 2016

Congenital Glaucoma, Satu dari Sepuluh Ribu, Mengapa Harus Seppi?

Jumat, 16 September 2016, proses kelahiran yang cukup berat untuk kakakku, mbak Puji. Sewaktu kelahiran anak pertamanya, Indri, jam empat pagi masuk klinik, jam delapan pagi lahir. Selama kehamilan pun tidak ada masalah. Kehamilan yang kedua ini, mbak Puji mengalami masalah pada usus buntunya dan harus menjalani operasi. Rasa mulas berlebihan, hampir membuatnya menyerah. Sebelas jam di Klinik Bersalin menunggu pembukaan, yang tak kunjung bertambah dari pembukaan dua. Karena rasa mulas yang hampir tak dapat ditahannya lagi, mbak Puji ditawari induksi, dengan penjelasan mulasnya empat kali lipat dari mulas yang sekarang. Mbak Puji memilih operasi caesar. Dia pun dirujuk ke RSIA. Keluarga sudah menyetujui operasi caesar.

Dokter pun melakukan pemeriksaan sekali lagi sebelum pelaksanaan operasi. Ternyata sudah pembukaan lima. Dokter meminta membaktalkan operasi caesar dan mendukung mbak Puji untuk melahirkan secara normal. Jam lima lewat sekian menit, lahirlah anak kedua, bayi perempuan, yang malam ini resmi bernama Septiani. Akan tetapi, semua tidak berhenti di sini.

Aku harus meninggalkan Bandung menuju Jakarta karena beberapa hal, yang hanya aku yang bisa mengurusnya. Sabtu, 17 September 2016, jam dua belas siang, aku baru sampai di RSIA, mendapat kabar, bayi harus berada di ruang observasi karena masih sering muntah. Dan tentu saja pemberitahuan hal lain yang harus aku urus.

Minggu, 18 September 2016. Mbak Puji dan Seppi boleh pulang. Akhirnya aku bisa melihat Seppi setelah penasaran hampir dua puluh empat jam. Keributan terjadi setelah sampai rumah, ketika Seppi menangis karena lapar. Dia bangun dan membuka matanya meskipun hanya sedikit. Entah mengapa dia belum membuka matanya dengan lebar. Tetapi dari matanya yang terbuka sedikit itu, aku dan ibuku bisa melihat matanya berwarna abu-abu. Tidak terlalu jelas warna putih dan hitamnya, seperti tertutup selaput tipis.

Sore itu pun diwarnai dengan tangisan ibuku. Dia teringat riwayat kelahiran mbak Puji yang juga lahir dengan kondisi mata seperti ini. Karena penanganan yang kurang tepat, mbak Puji mengalami kebutaan. Suami mbak Puji, kami tidak bisa menelusuri riwayatnya karena dia tidak pernah diberitahu orang tuanya. Yang dia tahu, penyebab kebutaannya adalah demam tinggi.

Aku pun mencari sebanyak mungkin referensi dan banyak referensi menuju ke istilah Congenital Glaucoma. Ini adalah glaucoma yang dialami bayi sejak lahir. Siapaun bisa terkena, akan tetapi, jika orang tua memiliki riwayat yang sama, peluang lebih besar anaknya akan mengalami hal yang sama. Sumber mengatakan, peluang kejadian adalah satu banding sepuluh ribu. Dari sepuluh ribu, mengapa harus Seppi-ku?

Ah, semoga aku menemukan referensi yang salah.

Senin, 19 September 2016, aku membawa Seppi ke RSIA. Karena hampir tidak tidur semalaman akibat ulah Seppi, aku mengalami kegagalam bergerak pagi-pagi. Sampai RSIA, dokter anak shift pagi sudah tutup, sedangkan dokter shift siang sedang cuti. Akan ada shift sore jam lima nanti. Aku meminta bidan atau siapa pun memeriksa mata Seppi. Perawat pun membawa kami ke dokter umum di IGD. Setelah diperiksa, dokter umum ini menelfon dokter spesialis anak yang menangani Seppi sewaktu baru lahir. Dengan murah hati, dokter anak yang ditelepon akan segera ke RSIA, perkiraan sampai satu jam kemudian.

Pukul 13.00, sesuai janji, dokter spesialis anak datang. Seppi diperiksa namun beliau tidak menjelaskan apa-apa dan memberikan rujukan ke dokter spesialis mata. Aku mencoba menelepon rumah sakit yang disarankan RSIA, menanyakan jadwal poli spesialis mata. Siang ini sudah tutup. Akan buka lagi jam 18.00 s/d 20.00.

Pikiranku mulai mengembara. Mengapa harus Seppi? Mengapa harus kami? Mengapa harus aku? Otakku mulai berputar mengumpulkan semua hal yang kuingat tentang keluarga, Bangko, sekolah, thesis, dosen, Seppi, BPS, ibuku dan semua itu terpanggil secara tidak beraturan.

Apa aku akan sanggup melewati ini? Ah, bukan itu yang penting. Anak. Untuk apa anak dilahirkan? Untuk apa orang tua melahirkan anak? Untuk merawatnya ketika mereka lanjut usia? Atau anak hanya titipan untuk para orang tua agar belajar mengenal Tuhannya? Bukankah tidak adil untuk anak, jika niat memiliki anak hanyalah untuk merawat orang tuanya ketika lanjut usia?

Ah, otakku berjalan tanpa instruksiku. Air mataku pun bekerja tanpa instruksiku. Hanya tangan dan kakiku yang masih menurutiku, menggendong Seppi, membawanya pulang ke rumah.

Pukul 18 entah lewat berapa, yang jelas selepas Maghrib, hujan deras. Aku hampir menyerah, tidak jadi membawa Seppi malam ini. Tetapi sebelah hatiku atau mungkin logikaku berkata, tidak ada lain kali. Semakin lama aku di sini, semakin besar peluangku terlambat menyelesaikan studi.

Indri menemaniku malam ini. Kurasa hanya dia yang bisa kuandalkan sekarang karena hanya dia yang sepenuhnya ‘normal’. Dan untuk anak berusia sembilan tahun, dia terlalu bisa diandalkan. Dia bahkan menggantikanku membersihkan dan mengelap badan Seppi ketika aku kelelahan. Dan tentu saja, malam ini dia membantu membawakan tas dan payung.

Pukul 19 entah lewat berapa, yang kuingat, sewaktu mendengar adzan Isya’, aku duduk di depan meja pendaftaran RS. Dengan bantuan Indri, aku bisa menemukan kasir dan poli spesialis mata. Aku tidak bisa terlalu mengandalkan diriku semenjak kaca mata patah dan terpaksa memakai kaca mata lama yang sebenarnya tidak banyak membantu ketika malam hari.

Dokter spesialis mata menyebutkan satu kata yang kukenal, glaucoma. Keterangannya mirip dengan yang kubaca kemarin sore, yang kuharapkan adalah sumber yang salah. Tetapi ternyata, yang kubaca benar adanya. Apa aku harus berterima kasih kepada kampusku karena telah membiasakanku mencari sesuatu dengan berbagai macam kombinasi kata kunci? Entahlah.

Penjelasan dokter ditutup dengan memberikan surat rujukan ke RSCM Kirana, pelayanan khusus mata dengan peralatan lengkap.

Aku pulang dengan otak dan air mata kembali berulah, tidak mematuhi instruksiku lagi. Aku memandang Indri yang tertidur di sampingku. Aku ingat kata-katanya sebelum tertidur, “Bul (singkatan dari Bulek), dokter tadi ngomong apa sih? Indri gak ngerti.”

Kamu memang tidak mengerti tetapi kamu sudah banyak membantu selama ini. Kamu anak yang bisa kuandalkan. Indri. Aku akan selalu ingat untuk belajar satu hal, kamu jauh lebih kuat daripada aku. Jika aku tidak menemukan hikmah dari semua ini sekarang, aku akan mengambil pengalamannya saja. Ya, untuk sekarang, aku akan berjalan saja, semoga maksud Allah tentang ini, dapat kutemukan secepatnya.

Sekarang aku bertanya-tanya, dengan siapa aku ke RSCM besok pagi? Sendirian hanya akan membuatku kerepotan seperti waktu ke RSIA tadi pagi, harus membawa bayi dan tas sendiri.

4 comments:

  1. Penyakit semakin bervariasi enny, jadi sebelum menikah ada baiknya pasangan melakukan pengecekan pra-nikah.

    Kenapa?

    Mencegah lebih baik dari mengobati kan ?

    ReplyDelete
  2. Gak bisa berkata2 habis bacanya. Tetep semangat Eny, tidak pernah ada yang salah dengan apa yang terjadi. Yakin, kamulah yang terpilih, kamulah yang mendapatkan kekuatan itu. Kakimu,tanganmu dan hatimu. Yakin, suatu hari nanti semua akan terurai satu demi satu dan kamu akan dapat memetik hasilnya.
    Jalani dengan sabar dan ikhlas, ya nduk.
    Satu hal, kamu sudah membuka mataku bahwa menjadi manusia itu harus memberi manfaat buat orang lain, apapun bentuknya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kata-kata Mba Susi bikin saya terharu... Makasih, Mba... *ga tau mau ngetik apa lagi *cuma bisa bengong

      Delete